Di
abad 17, akibat serbuan dari Mataram, ketiga anak Sunan Giri Perapen;
Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti kudu minggat dari bumi Giri. Di
kekalutan perang, si sulung Jayengresmi terpisah dari adik-adiknya. Kisah trio
Giri saling mencari ini pun diabadikan dalam tembang klasik dikenal dengan Serat Centhini. Dibalik kisah pencarian tersebut, Serat Centhini memuat banyak cerita spiritual, adat
istiadat, juga asmara. Nampaknya, tema asmara memang paling digemari sejak
lampau hingga kini. Serat ini pun menjadi popular karena cerita percintaannya.
Centhini memang menggambarkan asmara dalam banyak arti, mulai kisah
asmara romantis sampai seks erotis paling cabul.
Asmara paling
romantis menjadi milik pasangan Jayengresmi (Syekh Amongraga) dengan Ni Ken
Tembangraras. Tatkala Jayengresmi melakukan perjalanan menyisir Jawa untuk
mencari adiknya, ia berjumpa dengan Tembangraras yang kemudian menjadi
istrinya. Paska upacara pernikahan dengan adat Jawa Islam, Amongraga tak
lantas bersanggama dengan istrinya. Sebulan lebih sejoli ini hanya saling
menatap dan berbincang, terus begitu hingga malam keempat puluh. Amongraga
mewejang istrinya agar persenggamaan mereka mencapai penyatuan sejati.
Kisah asmara tak
terbatas pun turut mewarnai Centhini, tak hanya pelepasan hasrat dan
persenggamaan antara suami istri, tapi juga seks diluar pernikahan, sesama
jenis, bahkan zoofilia. Mas Cebolang (Syekh Agungrimang) dalam pelarian masa
muda kerap bersenggama dengan orang yang berbeda, baik lelaki ataupun
perempuan. Ia pun sempat menyetubuhi dua perempuan secara bergantian di area
pesantren bersama seorang kawan lelakinya. Saat subuh tiba, mereka berhenti
lalu mandi dan menunaikan shalat subuh di masjid. Mas Cebolang adalah seorang
santri yang nantinya menjadi suami Niken Rancangkapti.
Dalam salah satu
jilid dikisahkan paman serta kakak Tembangraras yakni Jayengwesthi, Jayengraga,
Kalawirya pergi mencari Syeh Amongraga. Ki Kalawirya terkena penyakit
rajasinga, kemudian ia mendapat anjuran melalui mimpi, bahwa penyakit tersebut
bisa sembuh asalkan ia mampu memenuhi satu dari tiga syarat, yaitu bersenggama
dengan gadis perawan, dengan wanita yang lagi datang bulan, atau bersetubuh
dengan kuda. Karena perawan sulit didapat dan takut dosa jika berhubungan badan
dengan wanita menstruasi, akhirnya Ki Kalawirya memilih opsi ketiga. Penyakit
itu pun sembuh setelah ia bersetubuh dengan kuda.
***
Kiranya, tak bakal
mampu menelaah Centhini hanya dengan memaknai beberapa penggal cerita, dimana
seluruhnya terdapat 722 tembang. Serat ini mulai ditulis ulang pada 1814 dan
selesai 1823. Promotornya yakni Adipati Anom Amengkunegara III ( Paku Buwana V)
beserta tiga anggotanya, Kiai Ngabei Ranggasutrasna, Kiai Ngabei
Yasadipura, dan Kiai Ngabei Sastradipura. Dan penafsiran paling kontemporer dari
Serat Centhini dilakukan oleh Elizabeth Inandiak
Serat
Centhini sendiri berjudul asli Suluk Tambanglaras. Sedang penamaan Centhini
diambil dari nama seorang pelayan. Dikisahkan Jayengresmi melakukan perjalanan
menyisir Jawa untuk mencari adiknya. Rute pengembaraan Jayengresmi bermula Jawa
Timur sampai ke Jawa Barat dan kembali lagi ke Jawa Timur. Di pengembaraan ia
bersua dengan tokoh-tokoh dalam tradisi jawa semisal guru, syeh, juru kunci
makam, juga mahluk gaib, dimana ia banyak belajar mengenai khasanah Jawa juga
pengetahuan Islam. Pertemuan tersebut memengaruhi dan meningkatkan jiwa
spiritualnya sehingga Jayengresmi dikemudian hari dikenal sebagai seorang Syekh
bernama Amongraga. Paska menjadi Syekh, Jayengresmi berjumpa dengan Ni Ken
Tambangraras yang kemudian menjadi istrinya. Ni Ken Tambang Laras ini memiliki
pembantu setia bernama Centhini.