Amongraga Ni Centhini

Amongraga Ni Centhini
.Centhini Resort and Restaurant berada diketinggian 1050 meter dari permukaan laut , terletak di daerah kawasan wisata Taman Nasional Gunung Halimun , tepatnya 50 meter sebelum di Wana Wisata Gunung Bunder II, Pamijahan, yang masih berada di wilayah Kabupaten Bogor. Ketika Anda dari Jakarta melalui jalan toll Jagorawi, lalu keluar dari jalan toll menuju kearah Sentul selatan ( Sentul City ) , pilih kearah Jasmine dan arah IPB (Darmaga ). Setelah beberapa kilometer melewati IPB, Anda akan menemukan daerah Cikampak, sebuah jalan menuju ke Gunung Bunder II melewati jalan Cikampak Centhini Resort and Restaurant terdapat taman bunga, bamboo, ikan koi serta nuansa perbatuan, serta disekitar Centhini resort terdapat wisata menararik seperti Curug Cadas, Curug Cihurang, Curug Ngumpet, Curug Cigamea, Curug Pangeran, dan Curug Seribu. Selain itu, terdapat juga kawasan wisata Kawah Ratu.

Jumat, 14 Juni 2013

KAMASUTRA JAWA CENTHINI





Wanita Jawa, selalu digambarkan malu-malu, pendiam, sopan, sangat berbakti pada suami, dan tabu ketika membicarakan masalah kehidupan seksualnya. Namun tidak demikian halnya kalau kita membuka Serat Centhini, yang merupakan Kamasutra Jawa, yang mengupas masalah itu dengan lebih blak-blakan. Cetho melo-melo, yaitu jelas sejelas-jelasnya.

Memang, kalau kita bicara soal seks dan seksualitas, mungkin lebih mengenal Kamasutra dari India daripada Serat Centhini, karya sástra Jawa kuno, yang dirilis di awal abad ke-19. Padahal  versi lokal ini dipercaya jauh lebih lengkap dan “menantang”. Tak ada yang bisa memungkiri, urusan seks dari abad ke abad selalu saja menarik untuk dibicarakan. Entah dengan bisik-bisik di antara kaum lelaki di warung kopi, atau di antara kaum perempuan di sela-sela arisan. Adakalanya dibicarakan secara terbuka tapi terbatas, seperti di ruang seminar atau kesempatan formal lainnya.

Seks dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun luas, merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang paling dasar.Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk mempelajari, menganalisis, menyusun panduan, atau mengungkapkannya lewat karya sastra maupun karya tulis lainnya sejak dahulu kala.

Beberapa naskah kuno yang pernah ada, bisa kita sebut misalnya Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM – 17 M). Atau Kamasutra karya Vatsyayana dari India, yang ditaksir hidup di zaman Gupta (sekitar abad ke 1 - 6 M). Keduanya, bukan melihat seks sebagai subjek penelitian medis dan ilmiah, melainkan sebagai panduan seks. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, neurolog dan pakar psikoanalisis asal Austria, Sigmund Freud (1856 – 1939), mengembangkan sebuah teori tentang seksualitas yang didasarkan pada studinya terhadap para kliennya.

Baiklah, kita kembali nun jauh di sana, di tanah Jawa pada awal abad ke-19 muncul pula sebuah karya sastra yang terkenal hingga kini, yaitu Serat Centhini (nama resminya Suluk Tembangraras). Serat ini digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang pujangga istana Keraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad Ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.Serat Centhini yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) itu antara lain memang bicara soal seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat ini menjadi terkenal, bahkan di kalangan para pakar dunia.

Salah satu yang sangat interest yaitu seorang kontributor sebuah surat kabar Prancis, Elizabeth D. Inandiak. Dengan penuh semangat, dia  telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dengan judul Les Chants de l’ile a dormir debout le Livre de Centhini (2002). Tak bisa dipungkiri, Serat Centhini pun semakin dikenal dunia.

Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat represif-feodalistik, demikian tulis Otto Sukatno CR dalam Seks Para Pangeran:Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (Bentang, 2002), namun dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita bayangkan. Masalah seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari.

Dalam Serat Centhini, misalnya, masalah seksual ternyata menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal dan terbuka, tanpa tedeng aling-aling. “Ini sangat berlawanan dengan etika sosial Jawa yang bersifat puritan dan ortodoks,” tulis Sukatno.Bahkan, masalah seksual dalam serat itu diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus.

“Misalnya, menyangkut masalah pengertian, sifat, kedudukan dan fungsinya, etika dan tata cara bermain seks, gaya persetubuhan, dan lain-lain, diungkapkan jelas,” tutur Sukatno. Bahkan seks juga dibicarakan dalam kaitannya dengan penikmatan hidup atau pelampiasan hasrat hedonisme yaitu sebuah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah kebaikan tertinggi, atau satu-satunya kebaikan dalam kehidupan.

Lebih lanjut Sukatno memberi contoh, dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan dengan gamblang soal “ulah asmara” yang berhubungan dengan lokasi genital yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah agar lelaki tidak cepat ejakulasi. Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana pratingkahing cumbana yaitu gaya persetubuhan, serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.

Terungkap juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal selama ini penggambaran wanita Jawa selalu bersifat pasrah, dan nrima kepada lelaki. Bahkan pemalu dan tertutup.

Hal itu tampak dalam Centhini V (Dhandhanggula). Di ruang belakang di rumah pengantin perempuan pada malam menjelang hari H perkawinan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras, para perempuan tua-muda sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan pengalamannya dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah-masalah seksual lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan.

Salah satu percakapan itu misalnya seperti ini, Nyai Tengah menjawab sambil bertanya, “Benar dugaanku, Ni Daya, dia memang sangat kesulitan, napasnya tersengal. Saya batuk saja, eh lepas mak bul mudah sekali lepasnya. Tak pernah kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa, karena meski besar seakan mati.” Obrolan soal seks itupun disambut dengan tawa cekikikan.
(jayeng resmi)
                                      --------------------------------------------

KATURANGGAN PEREMPUAN

Menurut  Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa, yang dikutip Sukatno, adalah fakta bahwa hubungan seksual dalam masyarakat Jawa hanya diizinkan dalam rangka perkawinan. Sesungguhnya, masyarakat Jawa tidak mengenal masalah seksual sebagai wahana pelampiasan nafsu hedonistik, yaitu penikmatan terhadap hidup. Namun, pada kenyataannya tidaklah demikian. “Adanya sistem budaya  katuranggan perempuan, jelas merupakan penyangkalan terhadap hal itu,”ungkapnya.

Dalam sejumlah karya sastra Jawa maupun karya tulis lainnya, seperti primbon, soal katuranggan banyak diungkapkan, termasuk dalam Serat Centhini. Dalam kaitannya dengan perempuan, katuranggan dapat diartikan sebagai watak, sifat, atau tanda-tanda berdasarkan penampakan lahiriahnya.

Dalam budaya katuranggan, terdapat beberapa ciri perempuan yang menjadi idealitas lelaki untuk dijadikan istri. Tipe-tipe perempuan demikian, di antaranya disebut guntur madu, merica pecah, tasik madu, sri tumurun, puspa megar, surya surup, menjangan ketawan, amurwa tarung, atau mutyara.

Sebagai gambaran, perempuan bertipe surya sumurup, adalah perempuan yang memiliki dua lapis bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya kebiru-biruan. Ada sinom yaitu rambut halus yang tumbuh di dahi, yang menggumpal. Kedua alisnya nanggal sepisan yaitu berbentuk laksana bulan sabit. Perempuan seperti ini menjadi idaman kaum lelaki karena memiliki kesetiaan tak diragukan lagi. Lebih dari itu, ungkap Sukatno, ia tipe perempuan yang serasi dalam bermain asmara, sehingga dapat mencapai derajat marlupa yaitu orgasme bersama-sama.

Ekspresi budaya katuranggan ini juga terungkap, misalnya dalam Kitab Primbon Lumanakim Adammakna. Disebutkan, seperti Sukatno, ciri perempuan yang menggairahkan secara seksual antara lain, bertubuh kecil, wajahnya merah bersemu biru manis, rambut hitam panjang, sinom menggumpal. Atau, bertubuh kecil, pandangan dan wajahnya nguwung (agak melengkung), kulit kuning bersemu hijau, sinom menggumpal. Atau, bertubuh tinggi langsing, badan mbambang (padat berisi), roman mukanya galak, dan rambutnya panjang.

Masih banyak lagi ciri perempuan menggairahkan lainnya. Seperti diungkap Sukatno, tentu saja tidak semua tipe perempuan cocok dengan tipe ideal seperti itu. Masih ada tipe-tipe lain yang merupakan tipe campuran dari sebagian atau keseluruhan wacana keluruhan tiap-tiap tipenya. Memang rumit dan kompleks, karena seks, tidak bisa dinilai hanya dari segi penampilan lahiriahnya semata. (jayeng resmi)
                            ------------------------------------------------------

SOPAN SANTUN BERHUBUNGAN

Ritualisasi seksual juga diungkapkan dalam Serat Centhini, termasuk soal tata krama dalam melakukan hubungan seksual antar-suami-istri. Dalam berhubungan, misalnya, harus empan papan. Maksudnya, mengetahui situasi, tempat, dan keadaan, tidak tergesa-gesa, dan juga merupakan keinginan bersama.

Selain mendasarkan diri pada tata krama menurut budaya Jawa, tata krama ini juga mendasarkan diri pada hadis Nabi Muhammad SAW. Misalnya, sebelum melakukan hubungan seksual, seyogianya mandi terlebih dahulu. Setelah itu berdandan dan memakai wewangian. Sebelum mulai, berdoa lebih dulu dengan mengucapkan syahadat.

Masyarakat Jawa juga mengenal kalender seksual. “Ini berkaitan dengan masalah rasa perempuan, yang berhubungan dengan organ genital seksualnya. Satu asumsi bahwa setiap hari organ genital seksual yang sensitif pada perempuan, selalu berpindah tempat, sesuai dengan tinggi rendahnya bulan. Ini berdasar pada kalender Jawa. “Dengan mendasarkan pada kalender seksual, pasangan dapat mencapai puncak kepuasan secara bersama-sama,” tulis Sukatno.

Selain diungkap mengenai tata cara, etika, dan ritualisasi, dalam Serat Centhini II (Pupuh Asamaradana) diulas pula bentuk-bentuk serta pose hubungan seksual yang seharusnya dilakukan. Semua itu dimaksudkan agar pasangan dapat mencapai kepuasan bersama-sama. “Hubungan seksual tidak hanya sekadar pemuasan nafsu lelaki maupun perempuan, tetapi juga sebagai bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, proses prokreasi, dan seks sekaligus sebagai wahana ibadah,” ungkap Sukatno.

Dalam Serat Centhini IV (Pupuh Balabak) dijelaskan dengan gamblang posisi berhubungan seksual sebagaimana ajaran Jawa. Dalam melakukan penetrasi, misalnya, harus tetap pula melihat tipe perempuan pasangannya. Maka kemudian ada gaya kadya galak sawer (patukannya laksana ular galak), lir ngaras gandane sekar (seperti meraba baunya bunga), lir bremana ngisep sekar (laksana kumbang mengisap madu), lir lumaksana pinggire jurang (ibarat berjalan di tepi jurang), baita layar anjog rumambaka (seperti kapal layar turun ke tengah laut) dan sebagainya.

Dalam masyarakat Jawa dikenal pula berbagai resep jalu usada  yaitu ramuan  tradisional guna pengobatan seksual, agar lelaki jadi perkasa. Misalnya, untuk mencegah agar air mani tidak encer, sehingga dapat memperoleh keturunan, seperti dijumpai dalam Serat Centhini VII (Pupuh Dhandhanggula). Resepnya berupa merica sunti dan cabe wungkuk tujuh buah, uyah lanang (garam lelaki), arang kayu jati, gula aren seperempat. Semua bahan itu di-pipis yaitu digilas dengan alat batu, hingga lembut di tengah halaman pada saat siang hari. Sesudah itu dibentuk seperti kapsul.

Jamu berbentuk mirip kapsul itu ditelan sambil membaca mantra, “Sang dewa senjata akas-akas, kurang bagaluwih akase, kurang baga akukuh, ora ana patine.” Jadi dapat disimpulkan, Serat Centhini sebagai Kamasutra-nya Wong Jowo, lebih lengkap dan lebih blak-blakan. Inilah fakta-fakta yang terungkap