Amongraga Ni Centhini

Amongraga Ni Centhini
.Centhini Resort and Restaurant berada diketinggian 1050 meter dari permukaan laut , terletak di daerah kawasan wisata Taman Nasional Gunung Halimun , tepatnya 50 meter sebelum di Wana Wisata Gunung Bunder II, Pamijahan, yang masih berada di wilayah Kabupaten Bogor. Ketika Anda dari Jakarta melalui jalan toll Jagorawi, lalu keluar dari jalan toll menuju kearah Sentul selatan ( Sentul City ) , pilih kearah Jasmine dan arah IPB (Darmaga ). Setelah beberapa kilometer melewati IPB, Anda akan menemukan daerah Cikampak, sebuah jalan menuju ke Gunung Bunder II melewati jalan Cikampak Centhini Resort and Restaurant terdapat taman bunga, bamboo, ikan koi serta nuansa perbatuan, serta disekitar Centhini resort terdapat wisata menararik seperti Curug Cadas, Curug Cihurang, Curug Ngumpet, Curug Cigamea, Curug Pangeran, dan Curug Seribu. Selain itu, terdapat juga kawasan wisata Kawah Ratu.

Senin, 24 Juni 2013

Kisah Kuliner dari Serat Centhini

Banyak yang salah kaprah karena menganggap Serat Centhini hanya berisi permasalahan seks belaka. Lebih dari itu, Serat Centhini ternyata menyimpan banyak sekali informasi yang pernah ada di tanah Jawa. Seperti filsafat, kesenian, bangunan, dan juga makanan atau kuliner.
Andreas Maryoto dalam bukunya Jejak Pangan, berhasil menemukan fakta bahwa kitab yang lahir di era PakubuwonoIV itu tidak hanya sekadar “kitab seks”. Centhini ternyata pernah membahas permasalahan kuliner dengan sangat detail.
Kisah-kisah kuliner ini kebanyakan terjadi di tengah-tengah kisah perjalanan para keturunan SunanGiri, yang notabene adalah tokoh dalam kitab tersebut. Secara tersirat, informasi mengenai kuliner itu bersumber dari dua cara. Pertama ketika si tokoh utama kemalaman di tengah jalan sehingga harus menginap di sebuah rumah. Kedua, informasi itu datang dari para tuan rumah yang secara tidak sengaja menceritakan perihal sesaji yang ada di tiap upacara. Sebenarnya
tidak ada tatanan baku yang digambarkan mengenai etika atau urutan jamuan saat ada tamu yang datang. Namun, secara garis besar, si tamu mula-mula akan disuguhi minuman, sirih, serta beragam kue-kuean. Sembari berbincang, tahap selanjutnya adalah penyuguhan makanan besar yang juga mempunyai ragam yang beraneka warna.
Selain itu, Centhini juga menjabarkan bagaimana cara menanak nasi yang baik dan benar. Ada nasi yang dimasak dengan kuali yang diberi air yang kemudian disebut dengan nasi liwet, ada pula nasi yang dinanak di dalam bambu yang sudah dicampur dengan bumbu-bumbu. Tidak hanya itu, jenis padi yang sering dihadangkan kepada tamu yang datang pun tak lupa dicatat dengan lengkap.
Meskipun hanya menghadirkan kuliner-kuliner pedesaan, itu membuktikan bahwa Serat Centhini tidak hanya sekadar urusan seks dan spiritualitas belaka, tapi juga menghadirkan informasi-informasi sarat makna. Termasuk juga info kuliner.




Senin, 17 Juni 2013

Centhini 3



PENGEMBARAAN SPIRITUAL CEBOLANG

Setelah diterbitkan Centhini; 40 Hari Mengintip Malam Pengantin karya Sunardian Wirodono dan Centhini 2; Perjalanan Cinta karya Gangsar R. Hayuaji, kini kembali terbit Centhini 3; Malam Ketika Hujan dengan penulis yang sama pada novel Centhini 2. Buku berbeda, pengarang yang berbeda, namun dengan bangunan ruh yang sama: unsur kejawaan yang sangat kental.
Centhini 3 ditulis atas permintaaan Abdul Aziz Sukarno.
Berbeda dengan Centhini 2, yang mengisahlan perjalanan panjang Amongraga, dalam Centhini 3 mengisahkan pengembaraan Cebolang yang mendominasi karya R. Ngabehi Ranggasutrasna, R. Ngabehi Yasadipura II, R. Ngabehi Sastradipura, Pangeran Jungut Manduraja dan Kyai Mohammad.
Centhini 3; Malam Ketika Hujan merupakan kisah Cebolang dalam upaya mencari makna dan kesejatian kehidupan, mulai dari Desa Sokayasa dan berujung di Goa Sigala. Dari halaman pertama, pembaca akan membuktikan sendiri bahwa Centhini 3 memaparkan seksualitas orang Jawa hampir secara gamblang. Perhatikan kutipan berikut:

“Daratan sudah tampak di depan mata, sayang.
Bukakan lebar-lebar lubang bumimu!
Akan aku tuang air Cupu Manik Astagina dari pusar langit
Sebagaimana hujan yang tumpah tiba-tiba di luar.”

Kalimat indah namun memiliki makna seksualitas ini menghias sampul buku Centhini 3; Malam Ketika Hujan. Dari sepintas membaca saja, pembaca dewasa akan langsung paham simbol kalimat yang menggambarkan proses  hubungan seksual itu. Tidak hanya dalam sampul depan, namun sepanjang buku ini aspek-aspek pelampiasan syahwati dua manusia  berbeda jenis kelamin di atas ranjang dipaparkan begitu bersemangat. Beragam kegiatan seksualitas sangat gamblang dipamerkan hampir dalam setiap halaman pada novel ini. Sebab buku yang menceritakan petualangan Cebolang membawa pembaca pada pengetahuan yang sangat luas, tidak hanya persoalan filosofis, melainkan juga masalah seksualitas dan keduniawian. Namun, hal ini tidak menjadikan Centhini 3 sebagai buku cerita porno rendahan, karena di sela-sela cerita juga dilampirkan beragam pengetahuan dan nasihat agama yang didapatkan oleh Cebolang dari para kyai dan orang dihormati di sepanjang perjalanannya.
Inti dari cerita Centhini 3: Malam Ketika Hujan adalah kisah Cebolang yang telah menemukan jodohnya dengan adik Syekh Amongraga, Niken Rancangkapti  yang terseret dalam kenangan masa silamnya. Masa pengembaraannya bersama Kartipala, Palakarti, Saloka dan Nurwiti, pengembaraan yang diawali dari Padepokan Sokayasa yang berakhir di Goa Sigala di Gunung Semeru. Di akhir perjalanannya, Cebolang mampu melewati kenangan masa silamnya yang menghambat pengembaraan spiritualnya.
Satu hal lagi yang menarik dalam buku ini. Jika pembaca menyimak dengan baik, maka keseluruhan judul setiap bagian novel ini selalu diawali dengan kata suluk yang memiliki makna memperbaiki akhlak, menyucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan yang merupakan tujuan pengembaraan Cebolang.
Namun sangat disayangkan, keasyikan membaca novel unik ini agak sedikit terganggu dengan sisipan terjemahan asli Serat Centhini yang hanya disematkan sebagai catatan kaki. Formatnya yang kecil, dengan spasi yang terlalu rapat dan penataan yang “dipadatkan” membuat bagian terjemahan ini susah untuk dibaca. Terlebih lagi ada bagian terjemahan versi catatan kaki yang hampir memenuhi seluruh bagian halaman. Seperti pada halaman 24—26, halaman176—178 dan 275-277, yang merupakan hasil terjemahan tembang Jawa.
Terlepas dari persoalan teknis tersebut, novel ini merupakan media yang cukup menyenangkan untuk menguak kembali kekayaan dan falsafah kebudayaan Jawa. Melalui kisah Centhini

ISYARAT ALAM DALAM SERAT CENTHINI



Centhini ..adalah nama kumpulan serat-serat atau yang ditulis oleh sebuah tim, atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara III. Penulisan kitab Centhini dimulai pada hari Sabtu Pahing 26 Sura 1742 Tahun Jawa atau 1814 Tahun Masehi. Apa saja isi serat tersebut?
Tim yang ditugaskan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara III, diantaranya Raden Ngabehi Yasadipura II (Raden Tumenggung Sastranagara, red), abdidalem bupati pujangga kadipaten, Raden Ngabehi Sastradipura, abdidalem Kliwon carik kadipaten, dan Pangeran Jungut Mandurareja, pradikan krajan Wangga, Klaten Surakarta.

Selain itu masih ada nama lain yang ditunjuk, yaitu Kyai Kasan Besari, ngulama agung ing Gebangtinatar, Panaraga, menantu Sinuhun Paku Buwana IV, Kyai Mohamad Minhad, ngulama agung ing Surakarta, dan diketuai oleh Ki Ngabei Ranggasutrasna, abdidalem kliwon carik kadipaten.
Yang menjadi acuan tim dalam menulis, menyusun serat-serat tersebut adalah serat “Suluk Jatiswara” yang ditulis pada masa pemerintahan Paku Buwono III tahun 1711 Jawa.
Sebenarnya kumpulan serat-serat tersebut diberi nama “Suluk Tembanglaras” namun sosialisasinya lebih populer dengan sebutan Serat Centhini. Nama Centhini diambil dari nama seseorang yang mengabdi kepada Niken Tambangraras istri Syeh Amongraga tokoh penting dalam serat tersebut.
Serat Centhiniberisi berbagai macam pengetahuan, antara lain; kawruh agama, sastra, seks, situs, pawukon, primbon, keris, obat dan lain sebagainya. Karena isinya bermacam-macam, maka  Serat Centhini  dianggap sebagai Ensiklopedi Kebudayaan Jawa.
Kepeduliannya untuk menggali kembali nilai-nilai yang terkandung dalam serat-serat warisan adiluhung, telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk Yayasan Centhini yang telah melatinkan teks Centhini berbahasa Jawa dalam tembang macapat dan menerbitkannya sebanyak 12 jilid.
Bagi masyarakat yang berminat mengenal dan memahami isi Serat Centhini , dapat mengikuti sarasehan dan macapatan setiap Selasa Pahing atau malam Rabu Pon yang digelar oleh paguyuban pelestari budaya Jawa, di Rumah Budaya Tembi, Jogjakarta.
Dalam Serat Centhini jilid  satu Pupuh 22 dengan tembang Mijil, dikisahkan, ketika perjalanan Raden Jayengresmi bersama kedua abdinya, Gathak dan Gathuk sampai di Tuban, di hutan Bagor, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara meriam menggelegar bagaikan gempa.
Bersamaan dengan suara tersebut, munculah seorang putri cantik yang mengaku bernama Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan. Menurut penuturannya, Kanjeng Ratu Mas Trengganawulan adalah putri Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir.
Ketika Majapahit runtuh ia melarikkan diri dan sampai di hutan Bagor wilayah Tuban. Di hutan tersebut Trengganawulan mendapat perintah dari Hyang Widdhi untuk merajai para makhluk halus. Setiap hari Sukra Manis Trenggana Wulan muncul di sendang Sugihwaras, tempat ia mandi, untuk menemui seseorang yang sedang menjalani laku tirakat.
Dalam pertemuannya dengan Kangjeng Ratu Trengganawulan, Raden Jayengresmi, menyatakan keprihatinannya, karena hingga kini belum dapat menemukan kedua adiknya yang bernama Raden Jayengsari dan Niken Rangcangkapti.
“Jangan kecewa Raden, bersabarlah, akan tiba saatnya engkau bertemu dengan ke dua adikmu. Nanti sewaktu engkau menjalani hukuman dibuang ke laut, di Tunjungbang, engkau akan bertemu dengan ke dua adikmu.” (Jilid 1 Pupuh 22 Pada 12 & 13).
Isyarat Burung Dhandhang
Selain meramal bertemunya Raden Jayengresmi dengan kedua adiknya, Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan menuturkan kaweruh alam kepada Raden Jayengresmi, kaweruh tersebut diantaranya:
  • Pertanda alam melalui suara Burung Dhandhang. Dhandhang adalah jenis burung, berwarna hitam, bentuknya mirip burung Gagak namun lebih kecil.
  • Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Timur ke Barat rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu seorang pandhita atau orang luhur.
  • Jika burung Dhandhang bersuara dari arah Timur ke Selatan rumah, itu pertanda baik, apa yang dikerjakan akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
  • Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Selatan rumah, itu pertanda baik, akan mendapat rejeki.
  • Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Selatan Barat rumah, itu pertanda jelek, akan ada pertengkaran merebutkan hal-hal sepele.
  • Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Barat rumah, itu pertanda baik, akan segera mendapat jodhoh.
  • Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara Barat rumah, itu pertanda jelek, akan menderita sakit dan kekecewaan yang mendalam.
  • Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara rumah, itu pertanda jelek, akan mendapat malu.
  • Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara Timur rumah, itu pertanda baik, akan kedatangan saudara jauh.
  • Jika burung Dhandhang bersuara, di atap rumah, itu pertanda jelek, akan ada anggota keluarga yang meninggal.
Isyarat Burung Prenjak
Masih dalam Serat Centhini , pertanda alam bisa ditengarai berdasarkan suara burung Prenjak. Jika ada dua burung Prenjak berkicau bersautan di arah Selatan rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu bangsawan yang berkendak baik.
  • Jika ada burung Prenjak berkicau di arah Barat rumah, itu pertanda jelek, akan ada tamu yang mengajak bertengkar.
  • Jika ada burung Prenjak berkicau di arah Utara rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu seorang guru memberi wangsit yang baik dan suci
  • Jika ada burung Prenjak berkicau di arah Timur rumah, itu pertanda jelek, akan ada kebakaran.
  • Jika ada burung Prenjak berkicau mengitari rumah, itu pertanda baik, akan mendapat rejeki yang khalal.
Setelah menjelaskan pertanda burung Dhandhang dan Burung Prenjak, Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan menggarisbawahi, bahwa sebenarnya kawruh tersebut merupakan tinggalan jaman dahulu, benar salahnya diserahkan pada kehendak Hyang Widdhi.
Pada awalnya alam memang bersahabat dengan manusia, ketika manusia menghargai alam karena merasakan hidupnya tergantung kepada alam. Sehingga melalui alam ada tanda-tanda yang sangat berguna bagi kehidupan. Apa yang dituliskan dalam Kitab Centhini memberi gambaran hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.
Namun apakah pertanda alam itu masih cocok jika diterapkan pada jaman sekarang. Tentunya tidak! Karena jaman sekarang, Kicau burung Prenjak yang merdu indah hanya memberi satu tanda, yaitu “uang.” Orang akan berebut menangkapnya untuk kemudian menjualnya. Demikian juga suara Burung Dhandhang yang semakin jarang, memberi pertanda bahwa ada yang sudah hilang dalam hidup ini, yaitu penghargaan akan hidup, penghargaan akan alam yang menghidupi

Minggu, 16 Juni 2013

Ringkasan Centhini Jilid i dan II



1. Babad Giri (1487 – 1636)
Sech Wali Lanang dari Jeddah tiba di pelabuhan Gresik pada masa kerajaan Majapahit,
menikah dengan Putri dari Kerajaan Belambangan yang berhasil disembuhkan ketika menderita sakit. Karena Raja Belambangan tidak mau masuk Islam, Seh Wali Lanang meninggalkan Belambangan pergi ke Malaka. Istrinya sudah mengandung kemudian melahirkan bayi laki-laki. Bayi dimasukkan ke-kendaga dibuang ke laut, ditemukan Nyi Semboja yang sedang berlayar, diangkat anak diberi nama Santri Giri. Santri Giri belajar agama Islam kepada Sunan Ngampel, berteman baik dengan Bonang, anak Sunan Ngampel.
Setelah dewasa Santri Giri dan Santri Bonang mau pergi naik haji, mampir di Malaka ketemu Seh Wali Lanang, disuruh pulang lagi. Santri Giri diberi nama Prabu Setmata dan Santri Bonang diberi nama Prabu Anyakrawati. Kemudian Prabu Setmata menjadi raja di Giri. Ketika Sunan Giri jadi raja di Giri, Majapahit menyerang Giri karena tidak senang adanya kerajaan Islam. Sunan Giri sedang menulis dengan kalam, kalam tersebut dilempar berubah jadi tombak yang mengamuk ke barisan tentara Majapahit yang lari kocar-kacir. Tombak diberi nama Kalam Munyeng. Sunan Giri meninggal digantikan anaknya Sunan Giri Kedaton, kemudian digantikan cucunya Sunan Giri Parapen.  Pada masa Sunan Giri Parapen, Majapahit menyerang lagi dan berhasil menduduki istana tapi saat mau merusak makam Sunan Giri, dari dalam kubur muncul beribu-ribu kumbang yang menyerang tentara Majapahit yang lari kocar-kacir. Giri ditaklukkan Sultan Agung dari Mataram tahun 1636 karena Sultan Agung tidak mau ada dua raja di tanah Jawa.  Sunan Giri Parapen ditawan dan dibawa ke Mataram. Sedangkan anaknya: Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti  melarikan diri.
2. Perjalanan Jayengresmi diikuti santri Gathak dan Gathuk. Rute perjalanan: bekas istana Majapahit, candi Brawu, candi Bajangratu, candi Panataran di Blitar, arca Ki Gaprang di Gaprang, gong Kyai Pradah di hutan Lodhaya, ketemu Ki Carita di Pakel, mata air Sumberbekti di Tuban, sendang Sugihwaras di hutan Bago – Bojonegara, tulang-tulag besar di gunung Phandan, gunung Gambiralaya, ketemu Ki Pandang di Phandangan, sumber api alam di Dhander, sumber minyaktanah di Dandhangngilo, ketemu Ki Jatipitutur di Kesanga, sumber air asin di Kuwu, ketemu Kyai Pariwara di Sela, lihat gunung Merapi di Gubug ketemu Dathuk Bhani, bekas istana Prawata ketemu Ki Darmajati, Mesjid Agung Demak, Jepara, gunung Muria ziarah ke makam Sunan Muria ketemu Buyut Sidhasedya, ketemu Wasi Kawiswara di Panegaran – Pekalongan, gunung Slamet ketemu Seh Sekardelima, gunung Siwal ketemu Wasi Narwita, gunung Cereme ketemu Resi Singunkara, gunung Tampomas ketemu Seh Trenggana, gunung Mandhalawangi ketemu Ajar Suganda, Bogor ketemu Ki Wargapati, membangun pertapaan di gunung Salak. Diangkat anak dan dibawa ke Gunung Karang, Pandeglang, Banten oleh Ki Ageng Karang yang bernama Seh Ibrahim.
Sedangkan cerita, legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang bijak yang menyepi di pedalaman adalah:
Cerita/Legenda:
Ular Jaka Nginglung asal muasal air asin Kuwu; Ki Ageng Sela menangkap petir dan pepalinya.
Adat Istiadat: Arti kicau burung dandang & prenjak;  Perhitungan hari baik untuk berbagai keperluan;  Ukuran pembuatan keris tombak dan bagian-bagian rumah; Penanggalan Jawa menggunakan 30 Wuku;  Jayengresmi, Jayengrana dan Niken Rangcangkapti
Candrasangkala.
Pengetahuan Spirituil: Serat Nitisruti; Suluk Wali Sanga – cerita tentang Wali Sanga;
Waringin Sungsang; Suluk Tapa Lima; Suluk Langit Sapta; Puji Dina; Tanda-tanda kiamat.
3. Perjalanan Jayengrana dan Niken Rangcangkapti diikuti santri Buras.
4. Rute perjalanan: pesantren Ki Amat Sungeb di Sidacerma, sendang Pasuruan, telaga Gati, Banyubiru, air terjun Baung di gunung Tengger, candi Singasari, sumber Sanggariti di Sisir, candi Tumpang, candi Kidal, Tosari ketemu Buyut Sudarga lihat kawah Bromo dan lautan pasir, ketemu Resi Satmaka di Ngadisari, Klakah ketemu Umbul Sadyana malam hari ke telaga Dago lihat api gunung Lamongan, Kandhangan – Lumajang ketemu Seh Amongbudi, Argapura ketemu Seh Wadat, gunung Rawun ketemu Retna Tan Timbangsih, Nglicin – Banyuwangi lihat candi Selacendhani ketemu Ki Menak Luhung, ketemu Ki Hartati saudagar dari Pekalongan, diangkat anak oleh Ki Hartati dibawa naik perahu ke Pekalongan, diterima dengan senang hati oleh Nyi Hartati, Nyi Hartati meninggal dunia, seribu harinya disusul Ki Hartati juga meninggal, meninggalkan Pekalongan pergi ke gunung Prahu ketemu Ki Gunawan diajak ke pegunungan Dieng melihat sumur Jalathunda, kawah Candradimuka, candi-candi di Dieng, Sokayasa – Banyumas dikaki gunung Bisma, perjalanan diantar oleh Ki Gunawan ketemu Seh Akhadiyat lalu keduanya diangkat anak.
5. Sedangkan cerita, legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang sempat dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang bijak yang menyepi di pedalaman adalah:
Cerita/Legenda:
Cerita tentang Sri – Sadana, asal mula padi; Sifat-sifat tokoh wayang purwo / Mahabarata: Duryudana, Sengkuni, Durna Pendowo Lima, Sri Kresna, Istri-istri Arjuna: Sumbadra, Ulupi, Manuhara, Gandawati, Srikandi.
Adat Istiadat:
Cara tradisionil mengobati orang sakit dan ibu setelah melahirkan anak; Arti impian; Perhitungan selamatan orang meninggal.
Pengetahuan Spirituil:
Penjelasan agama Hindu – Sambo, Brama, Indra, Wisnu, Bayu dan Kala; Syariat agama Nabi: Adam, Sis, Nuh, Ibrahim, Daud, Musa, Isa, Nabi penutup Nabi Muhammad s.a.w.; Uraian tentang wudlu dan salat; Penjelasan tentang Dzat, Sifat, Nama, dan Keberadaan Allah menggunakan sifat dua puluh; Kadis Markum Baslam tentang empat nafsu: Luamah, Amarah, Supiyah, dan Mutmainah.
Ringkasan Serat Centhini Jilid 02
Serat Centhini Jilid-2 berisi 87 pupuh dari pupuh 88 s/d 174, berisi perjalanan Mas Cebolang (diikuti santri: Palakarti, Kartipala, Saloka, Nurwiti) anak Seh Akadiyat dari Sokayasa, Banyumas. Seh Ahkadiyat pada akhir Jilid-1 diceritakan mengangkat anak Jayengrana dan Niken Rangcangkapti.
Rute perjalanan:
meninggalkan Sokayasa, sampai di makam Dhukuh ketemu Ki Demang Srana lalu diantar ke makam Seh Jambukarang di gunung Lawet, pancuran Surawana yang bermata air di Muncar ketemu Ki Dati, bendungan Pancasan di Banyumas, naik rakit sungai Serayu, berhenti di Arjabinangun ketemu Ajar Naraddhi, lihat gua Limusbuntu, lihat gua Selaphetak yang berbentuk pendapa rumah, sampai di Segara Anakan, naik perahu menuju Karangbolong, di Ujung Alang gunung Ciwiring bisa kelihatan pulau Bandhung tempat bunga Wijayakusuma yang dijaga burung Bayan, di Jumprit lihat mata air sungai Praga di gunung Sindara ketemu Ki Gupita, gunung Margawati di Kedu ketemu Ki Lehdaswaninda, gunung Sumbing di sendang Bedhaya ketemu dhanyang Ki Candhikyuda dan istrinya Nyi Ratamsari, lihat mata air Pikatan, sampai di Ambarawa di gunung Jambu siarah makam Prabu Brawijaya dari Majapahit, suasana jadi gelap karena hujan abu dari letusan gunung Merapi, berjalan dalam gelap sampai di gunung Tidhar ketemu Seh Wakidiyat, lihat candi Borobudur, lihat candi Mendut, sampai di Mataram pada masa Sultan Agung, tinggal di Kauman tempatnya modin istana Ki Amat Tengara, siarah makam Panembahan Senapati di belakang Mesjid Agung, ketemu dengan banyak orang dengan berbagai keahlian: Ki Amongtrustho ahli ulah asmara, Empu Ki Anom ahli pembuatan keris, Ki Bawaraga ahli gending dan gamelan, Ki Madiaswa ahli tentang hal-ihwal kuda, Ki Pujangkara ahli perhitungan hari dan berbagai pertanda alam, jagal Nyai…Cundhamundhing ahli hal-ihwal nama daging bagian-bagian dari kerbau, Nyai Padmasastra ahli batik tulis, Nyai Sriyatna ahli sajen untuk pengantin, Nyai Lurah Kraton ahli ha-ihwal pengantin, modin Ki Goniyah juga ahli hal-ihwal pengantin, Kyai Amat Kategan memberi penjelasan beberapa hal tentang agama Islam, Ki Rasiku jurukunci makam Glagaharum di Demak menjelaskan cerita Sunan Kalijaga ketemu Puntadewa, Ki Harjana santri dari Jatisari ahli perhitungan hari, Ki Amat Setama cerita tentang Raja Istambul, Ki Wirengsuwigna ahli berbagai tarian, Ki Demang Basman ahli perhitungan pembuatan rumah, Kyai Sumbaga ahli pembuatan wayang kulit, Ki Toha menjelaskan tentang mandi Rebo-an, Ki Sopana ahli huruf-huruf kuno, Nyai Atikah bercerita tentang Ni Kasanah yang berbakti sama suami , Ki Narataka jurukunci meriam pusaka kraton, Ki Candhilaras juru dongeng dan tembang..
Pada Jilid 2 ini Serat Centhini lebih banyak mencerikan Mas Cebolang ketemu banyak orang di sekitar istana Mataram bercerita tentang legenda, adat istiadat dan ilmu yang mereka punyai sesuai keahlian mereka masing-masing.
Sedangkan cerita/legenda, adat istiadat, ilmu spiritual yang dibicarakan dalam pertemuan dengan orang-orang tersebut adalah:
Cerita/Legenda:
Sri Kresna dengan bunga Wijayakusuma; Permaisuri Raja Bagdad dan perdana mentrinya; Sunan Kalijaga ketemu Puntadewa raja Amarta; Raja Istambul yang hafal Al-Qur’an; Cerita tentang asal muasal bahasa dan huruf tatkala membangun menara Bibel; Ni Kasanah yang berbakti sama suaminya Suhul; Siti Aklimah yang dituduh serong pada jaman Rasul; Nabi Sulaiman mencoba kesetiaan cinta kasih antara Dara Murtasyah dengan Sayid Ngarip; Cerita wayang lakon Partadewa, Patih Satama dan Nyai Satami yang berubah jadi meriam di kerajaan Galuh;
Adat Istiadat:
Perilaku asmara enam macam; Aturan berkenan dengan nikah, cerai, idah, rujuk, rukun, khuluk, dan maskawin; Keterangan tentang delapan belas wanita yang tidak boleh diperistri; Uraian tentang muhrim wali; Uraian tentang cerai tanpa talak, rapak, syarat nikah, doa nikah, tata-tertib nikah; Perihal ulah asmara, pembuka pembangkit rasa maupun penahan rasa; Hal-ihwal nama dan macam-macam bagian daging kerbau; Hal ihwal keris, bentuk keris, bagian keris, macam ragam bentuk keris lurus dan keris berluk, tentang keris berluk: 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, bentuk mata tombak lurus dan berluk; Seluk beluk gending dan gamelan;
Hal ihwal berkenaan dengan kuda, cara mengendarai kuda, mencemeti kuda, menjinakkan kuda, bentuk dan warna kulit berkaitan dengan watak kuda; Perhitungan hari memperbaikai rumah, hari pasaran bayi, arti tanda-tanda gejala alam seperti gerhana, lintang kemukus, gempa bumi; Hal-ihwal dengan berbagai kain batik tulis, lukisan kain yang menjadi pantangan dan pantangan-pantangan dalam membuat batik lukis; Uraian sajian buat acara pengantin; Tata cara pengantin, lamaran, peningset, bubak kawah (bermenantu anak sulung), tumplak punjen (bermenantu anak bungsu), midodareni, upacara temu pengantin, kelengkapan pakaian pengantin; Perhitungan menaruh orang sakit; Macam ragam tari wireng dan asal mula tari bedhaya-serimpi; Bermacam-macam wayang (wayang gedhog, wayang klitik, wayang golek, wayang topeng), Mandi Rebo-wekasan (hari Rebo terakhir dalam bulan Sapar); Ruwatan Murwakala.
Pengetahuan Spirituil:
Penjelasan tentang turunnya Lailul-kadar; Kisah Nabi Kidir dan Nabi Musa; Pahala orang yang hafal Al-Qur’an apalagi kalau mengerti artinya; Penjelasan tentang puasa sunah,