CENTHINI begitu melupakan dirinya sendiri dan begitu
mengabdi kepada para junjungannya sehingga akhirnya dia memudar, padu lebur dan
larut, lenyap dari Suluk, pulang ke zatnya yang sejati, ilahi.
Adalah seorang perempuan bernama
Elizabeth D. Inandiak, berhasil menguak satu lembar sastra Jawa yang
tersembunyi dan hampir terlupakan ke dalam kancah dunia sastra Indonesia yang
sedang sumringah dengan terbitnya berbagai jenis buku dan tulisan.
Dengan cerdasnya Elizabeth melakukan
terobosan dengan menerjemahkan ribuan halaman naskah tembang Jawa tua yang
sudah berusia lebih dari 2 abad ke dalam tulisan Latin yang hampir pasti akan
menyalahi pakem tembang dalam sejarah penulisan sastra Jawa yang kental dengan
penafsiran akan Suluk atau Nyanyian atau ajaran yang dinyanyikan secara sacral
dalam ritual-ritual
kebudayaan Jawa. Elizabeth juga melakukan interpretasi
terhadap berbagai penokohan dan dialog dalam tembang tersebut untuk membuatnya
lebih dinamis di dalam buku, hal ihwalnya Suluk ini bukanlah untuk dibaca tapi
didengarkan dalam tembang. Seperti di tulis Elizabeth di prakata atau
penjelasan awal dalam buku “Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan” (hal.9), Dalam
sastra Jawa kuno, suara merasuki penyair bagai suatu wahyu yang datang lebih
dulu, baru kemudian lahirlah irama dan ragam menemani si pujangga memasuki
kata-kata satu per satu. Penyesuaian antara irama, macapat dan gema kata-kata
itulah yang menciptakan makna suluk dan keindahannya. Di dalam syair-syair
cabul, kekotoran kata dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya.Justru
perpaduan antara Lumpur dan emas itulah yang membentuk watak dan sosok yang
luar biasa serta khas Serat Centhini .
Keseluruhan terjemahan Inandiak dari
disertasinya tentang Serat Centhini yang sudah diterbitkan Bahasa
Indonesia adalah 4 buku, Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, Minggatnya
Cebolang, Ia Yang Memikul Raganya dan Nafsu Terakhir.
Mengapa Serat Centhini
Dalam banyak kehidupan manusia, kita
mengenal ajaran nyanyian atau tembang atau bahkan berbalas pantun, dimana isi
dari ungkapan-ungkapan di dalamnya mengajarkan perumpamaan untuk menuju kepada
kehidupan yang lebih baik. Tidak sedikit ajaran-ajaran agama juga memiliki
tembangnya sendiri, seperti dalam agama Kristiani, di dalam Kitab Suci ada
bagian disebutkan sebagai mazmur, atau puji-pujian kepada Allah. Di dalamnya
juga bisa kita tangkap beberapa kata yang menggambarkan hubungan harmonis
antara makhluk hidup yang ada di bumi ini, sebagai penghormatan kepada Sang
Penciptanya.
Serat Centhini atau dalam judul
aslinya Suluk Tembangraras , adalah salah satu hasil karya sastra
Jawa Kuno, dikabarkan disusun pada 1809 Masehi, atas perintah putera mahkota
Kesultanan Surakarta Hadiningrat di Pulau Jawa kepada tiga pujangganya
Sastranagara, Ranggasutrasna dan Sastradipura untuk menyusun suatu cerita
(Jawa) kuno yang merangkum segala ilmu dan ngelmu Jawa bahkan hingga seni
hidup, agar pendengarnya hanyut dalam kesadaran tak berakal. (Tembang 1). Maka
pergilah tiga punjangga ini ke penjuru tanah Jawa bahkan sampai ke bagian Barat
(sampai ke Mekah) untuk menghimpun segala kearifan dan penyimpangan di kalangan
petapa, peramal, empu dan pandai besi dll. Kisah intinya berkisar tentang perjalanan
Jayengresmi atau lebih dikenal sebagai Syekh Amongraga putra Sunan Giri yang
termasyhur sebagai manusia unggul, aulia mujedub. Tokoh Jayengresmi atau
Amongraga mewakili berbagai sisi perilaku dan watak manusia, yang di satu sisi
penuh kekuatiran, kecemasan dan keingintahuan. Tetapi di sisi lain memiliki
kekuatan, kemampuan berpikir, mencintai, menghamba pada Tuhannya, bahkan juga
mencoba mencapai kesempurnaan sebagai manusia yang mengalahkan nafsunya
sendiri.
Yang berkeliaran di antara tembang
Di awal buku, kita melihat keliaran
keajaiban pada tembang 2 sampai tembang 5, diceritakan asal usul silsilah
keluarga dan orangtua dari Jayengresmi, yaitu kakek Jayengresmi yang adalah
Syekh Walilanang, seorang muslim dari Jedah yang mencoba masuk ke Kerajaan
Blambangan sebagai benteng terakhir dari peradaban Majapahit di Jawa. Dengan
kekuatannya, Syekh Walilanang berhasil menyembuhkan penyakit puteri raja dan
mempersuntingnya, dengan harapan raja dan seluruh kerajaan bisa mengikuti
ajaran agama Islam.
Menarik melihat latarbelakang
penyebaran agama Islam dan keruntuhan dari kerajaan Majapahit yang menyembah
dewa Siwa (Budha). Dituliskan di berbagai bagian tembang mengenai “aspek
negatif” dari para penyembah Dewa Siwa dari laskar Majapahit dan bagaimana para
penyebar agama Islam tersebut termasuk Syekh Walilanang dan anaknya Sunan Giri
berusaha mengembalikan masyarakat “Jawa” untuk kembali ke jalan yang “benar”
dengan menganut agama Islam. Perspektif Islam sangat kuat dalam tembang-tembang
di Serat Centhini , terutama memang berdasarkan cerita mengenai
penyebaran agama Islam dan bagaimana kaidah-kaidah agama Islam menjadi patokan
dalam perumpamaan dan ajaran-ajaran yang coba dikawinkan dengan ngelmu Jawa
Kuno.
Selanjutnya tercerita mengarah tentang
Gajah Mada menyerang daerah kekuasaan Sunan Giri dan menghancurkan
“kerajaannya” termasuk murid-muridnya. Sunan Giri yang murka mengeluarkan
kekuatan gaibnya dan mengusir prajurit Gajah Mada dari tanahnya.Ketika Sunan
Giri wafat dan diganti cucunya, kerajaan Majapahit balik menyerang dan berhasil
menghancurkan kekuasaan Giri. Sunan Giri muda lari dan malah terlindungi oleh
lebah ajaib yang menghancurkan prajurit dan kerajaan Majapahit.
Masuk ke tembang ketujuh, kita melihat
bagaimana Sultan Agung yang dulu sangat berkuasa itu, yang dipercaya memiliki
dua Kerajaan, di bumi (Jawa) dan di laut Selatan (penguasa Lautan bersama
Ratunya Ratu Kidul). Sultan Agung sangat ingin menguasai Kekhalifan Giri (yang
dikuasai keluarga Sunan Giri muda, keturunan Sunan Giri) walaupun pada saat
bersamaan sudah terjadi pertalian kekeluargaan karena pernikahan. Peperangan
tidak bisa dihindari lagi, sehingga jelaslah, Keluarga Sunan Giri dalam mara
bahaya karena penumpasan yang dilakukan Sultan Agung. Putera sulung Sunan Giri,
yaitu Jayengresmi terpisah dari kedua adiknya dalam pertempuran hebat yang
melanda kerajaannya. Dikisahkan betapa Jayengresmi tidak mengerti awalnya atas
keputusan perang yang dipilih ayahandanya, tetapi memilih mematuhi dan menjalan
titah sebagai anak yang patuh dan setia.
Digambarkan bagaimana hubungan antara
orang tua dan anaknya sebagai suatu keharusan untuk mematuhi karena berbagai
keputusan penting keluarga layaknya menjadi perintah tetap atau menjadi
ketetapan yang absolute, layaknya suatu kebijakan yang dibuat suatu Negara,
apapun itu konsekuensinya.
Cinta yang penuh makna
Dalam pelariannya dan pencarian
adik-adiknya Jayengresmi yang merubah namanya menjadi Amongraga dihadapkan pada
pencarian akan dirinya sendiri. Terlibat dalam ajaran agama Islam yang taat dan
cukup ketat. Perjalanan Jayengresmi dalam buku Elizabeth terbagi lagi dalam
buku lainnya yaitu Ia Yang Memikul Raganya dan juga Nafsu Terakhir, yang
dianggap paling eksplisit mengungkapkan relasi hubungan seksual jaman Jawa kuno.
Uniknya, keseluruhan deskripsi tentang perilaku seksual di jaman dahulu sama
sekali tidak memiliki tedeng aling-aling terhadap perilaku seksual yang
dianggap “menyimpang” bahkan ungkapan gamblang tentang hubungan seks antar
sesama jenis dan hubungan seks dengan Perempuan muda di bawah umur.
Singkatnya, dalam buku Empat Puluh
Malam dan Satunya Hujan, Amongraga jatuh cinta dan bertemu dengan seorang
Perempuan cantik bernama Tembangraras (atau Ken Tembangraras) putri seorang
Kyai pesantren, Ki Panurta di suatu tempat bernama pondok Wanamarta. Di tempat
ini Amongraga banyak bersemedi dan mendekatkan diri pada Tuhan. Setelah
menikahi Tembangraras, yang selalu diikuti pembantu setianya Centhini,
Amongraga memilih untuk mengenal istrinya dengan lebih baik selama empat puluh
malam lebih dan menyiraminya dengan hujan kata-kata rohani bagi peningkatan
diri sang istri dan juga kebersamaan yang romantis. Amongraga tidak menyentuh
istrinya tetapi nurani dan akal pikirannya dengan berbagai tembang berisikan
filosofi hidup yang penuh interpretasi.
Sampai di sini, buku Empat Puluh Malam
dan Satunya Hujan, kalau boleh saya bilang bisa disandingkan dengan The Prophet
miliknya Khalil Gibran. Dari tembang 71 sampai 111, penuh dengan filosofi
kehidupan yang begitu dalam dan bagaimana memandang hidup dengan berbeda.
Mengapa Amongraga melakukan ini kepada sang istri?
Amongraga mengatakan di awalnya bahwa
“Namun hatimu sudah dalam hatiku dan hatiku dalam hatimu, kau dengarkah
keduanya berdebar-debar gugup karena asmara ? Padahal kegugupan adalah halangan
sanggama.”
Bait ini dirasakan begitu menyentuh,
ketika sepasang kekasih yang gelisah menanti malam pertama, malahan harus
menahan diri dari luapan gairah dan seluruh reaksi kimiawi dirinya untuk
merasakan tubuh satu sama lain layaknya pengantin baru. Suatu ujian atas nafsu
birahi dan pengakuan terhadap penghormatan akan satu sama lain. Amongraga
merasakan bahwa mencintai dan mengenali pasangan bukan hanya dari persetubuhan
tetapi dari suatu hal yang lebih mendalam. Suatu filosofi kehidupan yang
sebenarnya sudah kurang banyak diterapkan dalam kehidupan manusia modern.
Sastra Jawa membuktikan bahwa makna cinta dulu selayaknya punya interpretasi
lain, bukan hanya kebersamaan fisik dan gairah asmara .
Lanjutnya Amongraga juga mengatakan, Jika
kau tidak keberatan Dinda, dan dengan rahmat Allah, mulai malam ini berdua kita
akan berlayar dalam diam, menentramkan nafas satu dalam lainnya, dan agar kau
jadi buritan dan aku haluan. Awalnya pelayaran ini akan terasa kejam penuh
larangan sebab ancaman karam sangat besar, kita akan dibawa selama empat puluh
malam mengarungi tujuh lautan, silih berganti.
Kata-kata Amongraga yang bijak tentang
kebersamaan sepasang suami istri, untuk saling memahami dan saling mengerti
atau sepakat dalam kata, belajar bersama melewati berbagai badai yang akan
dirasakan dan juga mencoba berdamai satu sama lain selama 40 hari masa
perkenalan mereka. Suatu yang romantis juga unik. Bukankah jaman sekarang
kecenderungan cinta tanpa eros seperti ini sudah tidak ada lagi.
Bandingkan kata-kata cinta Amongraga
dengan Khalil Gibran dalam the Prophet:
Love possesses not nor would it be
possessed;For love is sufficient unto love.When you love you should not say,
“God is in my heart,” but rather, I am in the heart of God.”And think not you
can direct the course of love, if it finds you worthy, directs your course.Love
has no other desire but to fulfil itself.But if you love and must needs have
desires, let these be your desires:
Amongraga mengatakan, dengan rahmat
Allah kita berlayar dalam diam, sementara Gibran mengatakan, ketika kau
mencintai janganlah berkata,”Tuhan ada dalam hatiku” tapi yang benar adalah,
“Aku bertahta dalam hati Tuhan. Jangan berpikir kamu bisa mengarahkan cinta,
tapi bila memang kau dianggap layak, ia akan mengarahkan layarmu”. Betapa
begitu bersinggungannya kedua tembang tersebut. Keduanya menceritakan bahwa
cinta tidak lepas dari rahmat dan titipan yang Maaha Kuasa atau sang Pencipta.
Hanya dengan berserah diri pada Tuhan maka cinta itu bisa ada dan bisa hidup.
Di tembang lainnya, Amongraga mengajak
Tembangraras mengenal dasar pilar kehidupan tentang hukum, hakekat dan ilmu
pengetahuan. Katanya: Hukum adalah tanah, sedangkan Hakekat dan Ilmu adalah
benih. Bila benih itu jatuh di tanah gersang, ia hanya menghasilkan semak
belukar. Oleh karenanya pengetahuannya mengenai hokum haruslah kuat sebelum
kamu menjelajahi jalan menuju ke Hakikat dan Ilmu.
Amongraga mengajarkan istrinya, sebagai
perempuan untuk mengetahui dasar hukum tempat berpijak dan mencari hakikat dan
ilmu pengetahuan. Suatu prinsip yang cukup mengagumkan, apalagi berkaitan
dengan pengembangan pengetahuan dan falsafah hidup bagi perempuan sebagai
pribadi mandiri.
Secara ringkas dalam tembang lainnya,
Amongraga mengajarkan istrinya dengan berbagai ajaran islam, termasuk tentang
sholat, nabi Muhammad, juga posisi manusia sebagai hamba Allah, bagaimana dunia
diwujudkan/penciptaan, empat unsur duniawi yang mengandung zat Allah, bahkan
juga tentang senggama dan berbagai hal lainnya dengan berbagai perumpamaan atau
filosofi kehidupan dan nafas islami. Hampir mirip dalam the Prophet (Khalil
Gibran) dimana masing-masing segmen juga membicarakan berbagai hal terbagi
dalam beberapa segmen tentang cinta, pernikahan, anak-anak, tentang kerja,
tentang kebahagiaan dan kepedihan dan lainnya.
Yang menarik dari semua perakapan
Amongraga dan Tembangraras dalam kelambu tempat tidur mereka selalu didengarkan
oleh sang pembantu atau emban, Centhini yang dengan setia melupakan keberadaan
dirinya dan selalu siap sebagai hamba duduk menunggu tidak jauh dari pelaminan.
Tanpa disadari awalnya oleh Amongraga, dalam saat bersama ia telah memberikan
pengetahuan kepada dua perempuan yang paling dekat dalam hidupnya pada saat
bersamaan. Tentunya ini mungkin menjadi salah satu alasan mengapa tembang ini
begitu terkenal dengan nama Serat Centhini , nama seorang hamba
sahaja perempuan. Dalam buku, “Nafsu Terakhir” digambarkan Centhini memiliki
kekuatan supranatural dan berhasil membela sang majikannya dari mara bahaya
laki-laki hidung belang. Sebegitu dasyatnya Centhini sehingga keberadaannya
sampai akhir hayatnya tidak disadari siapapun tetapi ia telah melebur dalam
pekerjaannya tanpa pamrih apapun. Centhini hilang dari muka bumi dan tidak
ditemukan siapapun. Kepercayaan ini juga masih dianut oleh ajaran Buddha dimana
manusia yang bisa melampaui keduniawian bisa menghilang dan sampai ketingkat
yang lebih tinggi.
Melihat ketabahan dan kesabaran
Amongraga dan Tembangraras, saya melihat ada suatu pesan utama dalam Serat
Centhini di buku ini, yaitu mengenai arti cinta dan pernikahan dalam
kehidupan manusia. Manusia hidup dalam satu proses yang berputar atau siklus
dimana mencintai dan dicintai adalah hal yang silih berganti. Ketika bayi
manusia dirawat dan dicintai, ketika dewasa merawat dan mencintai tetapi juga
bisa dicintai dan dirawat sebagai suatu “lingkaran penuh” kehidupan. Apa
sebenarnya yang dinanti manusia selain penemuan akan cinta sejati, kehidupan,
kebahagiaan dan kematian? Apakah kematian dan kebahagiaan bisa berjalan
bersama? Semuanya hanya ada di dalam hati manusia masing-masing. Nilai-nilai
ini telah coba ditawarkan oleh Serat Centhini . Selanjutnya memang
kembali kepada kita semua masing-masing untuk mencari dirinya dan cinta sejati.