SERAT Centhini, yang dianggap karya terbesar dan terindah dalam
kesusastraan Jawa, ditulis pada abad ke-19. Dia lahir dari rahim keraton Solo.
Pangeran Adipati Anom, seorang putra Susuhunan Pakubuwana IV, menginginkan
pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa dikumpulkan. Tiga pujangga keraton
ditunjuk untuk membantunya.
Kerja keempatnya menghasilkan karya setebal 4.000 halaman lebih yang
terbagi atas selusin jilid. Beberapa jilid di antaranya memuat ajaran erotika
yang dibalut dengan mistisisme Islam dan Jawa. Inilah yang menarik minat
Elizabeth D. Inandiak, seorang Prancis yang menggubah dan menerjemahkan Serat
Centhini ke Bahasa Indonesia. "Saya tak pernah membayangkan sama sekali
bahwa seks bisa bergabung dengan mistik," katanya dalam kuliah umum
"Erotika Nusantara: Serat Centhini" di Teater Salihara, Jakarta, 10
Maret lalu.
Padanan kata ini, menurut Inandiak, dapat ditemukan dalam Centhini.
Beberapa kata yang berkelindan dengan erotika misalnya ajigineng, terangsang,
nafsu berahi, cinta syahwati, asmaragama (seni bercinta), kasmaran, naluri
seksual, pengumbaran nafsu, dan mabuk kepayang. Masyarakat Jawa telah mempunyai
konsep dan kata mengenai erotika. Dengan demikian, erotika tidak sepenuhnya
datang dari Barat.
Sejak 1990-an, Elizabeth menerjemahkan Centhini ke dalam bahasa Prancis.
Buku sadurannya dalam bahasa Indonesia, Centhini: Kekasih Yang Tersembunyi, baru terbit pada 2008.
Penerjemahan Serat Centhini itu tak mudah, Inandiak mesti menghadapi dua
pendapat ekstrem para ahli sastra Jawa. Satu kelompok berpendapat Serat
Centhini terlalu kotor untuk diterjemahkan karena memuat ajaran dan kata-kata
kotor, cabul, dan kasar. Di kutub lain, para ahli menilai Serat Centhini sangat
adiluhung sehingga tak bisa diterjemahkan. Kalaupun diterjemahkan, nilai
estetis Centhini akan berkurang. Kedua pendapat itulah yang menyebabkan Serat
Centhini tak diterjemahkan selama hampir satu abad. Tapi Inandiak tetap
berkeras menerjemahkannya karena menganggap karya ini sangat penting untuk
mengungkap dunia tersembunyi orang Jawa.
Beberapa jilid Serat Centhini memang memuat ajaran-ajaran kotor dan cabul.
Penuh adegan persanggamaan dan pelepasan hasrat seksual yang tak terbatas suami
dan istri tapi juga di luar pernikahan. Petualangan Cebolang, remaja yang lari
dari rumah orangtuanya karena menilai dirinya berdosa besar, menjadi
simbolisasinya.
Dalam pelariannya, dia bersanggama dengan orang yang berbeda, tak peduli
laki atau perempuan, di banyak tempat. Perbuatannya itu tak lain untuk menebus
dosa-dosanya. Cebolang menganggap hanya dengan menceburkan diri ke perbuatan
yang hina kesalahannya diampuni. Ketika sampai di Mataram (Yogyakarta),
Cebolang, bersama kawan lelakinya, Nurwitri, menyetubuhi dua perempuan secara
bergantian di area pesantren. Subuh tiba, mereka berhenti, lalu mandi untuk
menunaikan salat subuh di masjid.
"Ini menarik. Kalau terjadi di klub seks bebas, itu bukan erotika.
Tapi, ini terjadi di pesantren sehingga erotikanya sangat tinggi. Seperti ada
sesuatu yang tersembunyi dalam kisah itu," terang Inandiak.
Tapi, Inandiak mengingatkan bahwa kecabulan dan kekotoran bahasa Serat
Centhini terhapus lewat keindahan tembang dengan paduan gamelan dan pesinden.
"Pembacaan Serat Centhini sejatinya memang ditembangkan," tandasnya.
Dengan demikian, para pembaca tak tenggelam ke lautan kata-kata kotor dan cabul
sehingga keindahan erotika Serat Centhini tetap dapat ditangkap.
Kisah asmara paling halus dalam Serat Centhini tak pelak menjadi milik
pasangan Amongraga dan Tembangraras. Amongraga, putra mahkota Sunan Giri, duduk
berhadapan dengan Tambangraras, istrinya, di kamar pengantin pada malam pertama
pernikahannya. Amongraga berada di buritan ranjang pengantin, sedangkan
Tambangraras duduk di haluan. Jarak antara keduanya cukup jauh. Riuh-rendah
tetamu yang masih berpesta dan mabuk di luar kamar masih terdengar, sedangkan
suasana di dalam kamar sangat tenang dan damai.
Amongraga tak lantas bersanggama dengan istrinya. Dan terus begitu hingga
malam keempat puluh. Selama itu, Amongraga mengajarkan sejumlah rahasia kepada
istrinya agar persanggamaan mereka mencapai penyatuan sejati. Sebelum tibanya
malam itu, keduanya hanya saling menatap dan berbicara.
Mereka bertelanjang secara bertahap sesuai dengan tingkatan mistiknya.
"Semakin tinggi tingkatan mistiknya, semakin tinggi pulalah
ketelanjangannya," kata Inandiak.
Tingkatan mistik tercapai berkat ajaran-ajaran Amongraga yang diambil dari
mistisisme Islam dan asmaragama (seni bercinta Jawa). Ajaran Islamnya bersumber
dari buah pikir sufi Timur Tengah seperti Al-Jili, Abdul Qadir al-Jailani,
Al-Ghazali, dan Rumi. Sedangkan ajaran asmaragama bersumber dari tradisi
tantrisme dan falsafah Jawa Kuno. Karena asmaragama, banyak yang menganggap
Serat Centhini sebagai Kamasutra Jawa. "Memang ada yang
menyebut seperti itu, tapi saya kira Centhini bercerita tentang banyak hal.
Lebih luas daripada Kamasutra,"
katanya.
Amongraga menyadari sepenuhnya apa yang diajarkannya selama empat puluh
malam, pun jua dengan Tambangraras. Jiwa mereka terbakar dalam api asmara. Dan
mencapai puncaknya pada malam keempatpuluh. Saat itulah, mereka menyatukan
tubuh. Tak ada laki-laki, tak ada perempuan. Manunggal. Demikianlah puncak
erotika. Inandiak menyebut itu sebagai paduan sir (nafsu dalam bahasa Jawa) dan sir (rahasia dalam bahasa Arab).
"Nafsu yang mengangkat asmaragama ke alam gaib (rahasia)," tulis
Inandiak. Sesuatu yang menurut Inandiak menjadi padanan kata paling tepat untuk
erotika dan tidak ditemukan dalam alam pikiran orang Barat melalui pembacaannya
terhadap karya sastra mereka.
"Sepanjang pengetahuan saya, mudah-mudahan saya
salah, tak ada kesusastraan Eropa yang menggabungkan seks dan mistik seperti
ini," kata Inandiak menutup diskusi.