Mangir adalah
nama sebuah desa di daerah Jogja. Pada masa pemerintahan Panembahan Senopati,
Mangir merupakan daerah perdikan, atau daerah bebas pajak...Dusun
Mangir sekarang terbagi atas tiga wilayah, yakni Dusun Mangir Lor, Mangir
Tengah dan Mangir Kidul. Lokasi ini terletak kira-kira 20-an kilometer dari
Jogyakarta. Secara administratif dusun ini masuk dalam wilayah Kalurahan
Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DIY. Dalam buku-buku sejarah
tidak pernah disebutkan dengan jelas siapakah tokoh Ki Ageng Mangir. Buku
sejarah versi De Graaf yang sebagian besar mendasarkan sumbernya pada Babad Tanah
Jawi dan berita-berita Kumpeni-VOC pun tidak pernah membicarakan tentang
Mangir. Nama Mangir justru terkenal di dalam cerita tutur dan buku Babat Mangir
yang pernah diterjemahkan oleh Balai Bahasa.
Bagi kekuasan kerajaan Mataram Jogja,
Mangir adalah duri dalam daging. Desa ini secara terang-terangan tidak mau
tunduk pada kerajaan Mataram, apalagi membayar upeti seperti wilayah
lainnya. Tokoh pemberontak dari Mangir itu adalah Ki Ageng Mangir. Dia
ditakuti karena memiliki pusaka sakti, tombak Kyai Plered.
Disebut dalam Babad Mangir bahwa paling
tidak ada tiga tokoh yang menggunakan nama Mangir. Trah Mangir ini dalam babad
diceritakan berasal dari Brawijaya terakhir (V) yang berputra Radyan
Alembumisani. Alembumisani ini melarikan diri dari Majapahit ke arah barat
bersama istrinya. Kemudian dia mempunyai seorang putra yang diberi nama Radyan
Wanabaya. Radyan Alembumisani meninggal di daerah Gunungkidul. Radyan Wanabaya
inilah yang kemudian tinggal di Mangir sehingga ia terkenal dengan nama Ki
Ageng Mangir Wanabaya (Mangir I).
Menurut versi Mataram, Ki Ageng Mangir
adalah pemberontak yang halal darahnya untuk dibunuh. Maka diaturlah sebuah
skenario untuk menjebak Ki Ageng Mangir. Caranya, Panembahan Senopati
mengirim Pambayun, yang tak lain adalah anak perempuan tertuanya, untuk
menyamar sebagai penari ronggeng ke desa Mangir, dengan harapan Mangir terpikat
dan menjadikan Pambayun sebagai istrinya. Jebakan itu berhasil. Ki Ageng Mangir
jatuh cinta.
Persoalan menjadi rumit ketika Pambayun
kemudian secara tulus jatuh cinta kepada Ki Ageng Mangir, padahal tugasnya
adalah membawa kepala Ki Ageng Mangir ke hadapan ayahandanya. Pambayun meminta
Ki Ageng Mangir untuk mau datang menghadap ayahandanya, musuh
politik Ki Ageng Mangir sendiri yang kini adalah mertuanya sendiri.
Berangkat dari sini, terjadi perbedaan
versi. Ketika Ki Ageng Mangir menghadap Panembahan Senopati, kepala Ki Ageng
Mangir pecah diantamkan ke batu. Peristiwa itu terjadi ketika Ki Ageng Mangir
tunduk sujud kepada mertuanya, setelah semua senjata dia lepaskan.
Sebab menurut tradisi jawa, seorang menantu yang sedang sujud kepada mertua
harus melepaskan seluruh senjatanya. Di sini Panembahan Senopati menang
telak. Setelah mati, jasad Ki Ageng Mangir dikubur dengan bagian
kepala masuk dalam tembok kraton, sementara bagian kaki berada di luar tembok.
Karena Ki Ageng Mangir adalah menantu raja tapi sekaligus pemberontak. Jadi
jasadnya tidak bisa diterima secara utuh oleh istana.
Versi Mangir, adalah keniscayaan bagi
Ki Ageng Mangir untuk begitu saja tunduk kepada Raja Mataram. Itu bukanlah
watak aslinya. Mangir sebelum mati pasti melakukan perlawanan hingga titik
darah penghabisan. Bukan mati secara sia-sia di atas bongkahan batu, di bawah
injakan kaki kuasa Panembahan Senopati..
Sejarah yang ditulis adalah sejarah
sang pemenang,dan selalu ada jawaban dan pembenaran atas proses tersebut.