Amongraga Ni Centhini

Amongraga Ni Centhini
.Centhini Resort and Restaurant berada diketinggian 1050 meter dari permukaan laut , terletak di daerah kawasan wisata Taman Nasional Gunung Halimun , tepatnya 50 meter sebelum di Wana Wisata Gunung Bunder II, Pamijahan, yang masih berada di wilayah Kabupaten Bogor. Ketika Anda dari Jakarta melalui jalan toll Jagorawi, lalu keluar dari jalan toll menuju kearah Sentul selatan ( Sentul City ) , pilih kearah Jasmine dan arah IPB (Darmaga ). Setelah beberapa kilometer melewati IPB, Anda akan menemukan daerah Cikampak, sebuah jalan menuju ke Gunung Bunder II melewati jalan Cikampak Centhini Resort and Restaurant terdapat taman bunga, bamboo, ikan koi serta nuansa perbatuan, serta disekitar Centhini resort terdapat wisata menararik seperti Curug Cadas, Curug Cihurang, Curug Ngumpet, Curug Cigamea, Curug Pangeran, dan Curug Seribu. Selain itu, terdapat juga kawasan wisata Kawah Ratu.

Senin, 17 Juni 2013

Centhini 3



PENGEMBARAAN SPIRITUAL CEBOLANG

Setelah diterbitkan Centhini; 40 Hari Mengintip Malam Pengantin karya Sunardian Wirodono dan Centhini 2; Perjalanan Cinta karya Gangsar R. Hayuaji, kini kembali terbit Centhini 3; Malam Ketika Hujan dengan penulis yang sama pada novel Centhini 2. Buku berbeda, pengarang yang berbeda, namun dengan bangunan ruh yang sama: unsur kejawaan yang sangat kental.
Centhini 3 ditulis atas permintaaan Abdul Aziz Sukarno.
Berbeda dengan Centhini 2, yang mengisahlan perjalanan panjang Amongraga, dalam Centhini 3 mengisahkan pengembaraan Cebolang yang mendominasi karya R. Ngabehi Ranggasutrasna, R. Ngabehi Yasadipura II, R. Ngabehi Sastradipura, Pangeran Jungut Manduraja dan Kyai Mohammad.
Centhini 3; Malam Ketika Hujan merupakan kisah Cebolang dalam upaya mencari makna dan kesejatian kehidupan, mulai dari Desa Sokayasa dan berujung di Goa Sigala. Dari halaman pertama, pembaca akan membuktikan sendiri bahwa Centhini 3 memaparkan seksualitas orang Jawa hampir secara gamblang. Perhatikan kutipan berikut:

“Daratan sudah tampak di depan mata, sayang.
Bukakan lebar-lebar lubang bumimu!
Akan aku tuang air Cupu Manik Astagina dari pusar langit
Sebagaimana hujan yang tumpah tiba-tiba di luar.”

Kalimat indah namun memiliki makna seksualitas ini menghias sampul buku Centhini 3; Malam Ketika Hujan. Dari sepintas membaca saja, pembaca dewasa akan langsung paham simbol kalimat yang menggambarkan proses  hubungan seksual itu. Tidak hanya dalam sampul depan, namun sepanjang buku ini aspek-aspek pelampiasan syahwati dua manusia  berbeda jenis kelamin di atas ranjang dipaparkan begitu bersemangat. Beragam kegiatan seksualitas sangat gamblang dipamerkan hampir dalam setiap halaman pada novel ini. Sebab buku yang menceritakan petualangan Cebolang membawa pembaca pada pengetahuan yang sangat luas, tidak hanya persoalan filosofis, melainkan juga masalah seksualitas dan keduniawian. Namun, hal ini tidak menjadikan Centhini 3 sebagai buku cerita porno rendahan, karena di sela-sela cerita juga dilampirkan beragam pengetahuan dan nasihat agama yang didapatkan oleh Cebolang dari para kyai dan orang dihormati di sepanjang perjalanannya.
Inti dari cerita Centhini 3: Malam Ketika Hujan adalah kisah Cebolang yang telah menemukan jodohnya dengan adik Syekh Amongraga, Niken Rancangkapti  yang terseret dalam kenangan masa silamnya. Masa pengembaraannya bersama Kartipala, Palakarti, Saloka dan Nurwiti, pengembaraan yang diawali dari Padepokan Sokayasa yang berakhir di Goa Sigala di Gunung Semeru. Di akhir perjalanannya, Cebolang mampu melewati kenangan masa silamnya yang menghambat pengembaraan spiritualnya.
Satu hal lagi yang menarik dalam buku ini. Jika pembaca menyimak dengan baik, maka keseluruhan judul setiap bagian novel ini selalu diawali dengan kata suluk yang memiliki makna memperbaiki akhlak, menyucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan yang merupakan tujuan pengembaraan Cebolang.
Namun sangat disayangkan, keasyikan membaca novel unik ini agak sedikit terganggu dengan sisipan terjemahan asli Serat Centhini yang hanya disematkan sebagai catatan kaki. Formatnya yang kecil, dengan spasi yang terlalu rapat dan penataan yang “dipadatkan” membuat bagian terjemahan ini susah untuk dibaca. Terlebih lagi ada bagian terjemahan versi catatan kaki yang hampir memenuhi seluruh bagian halaman. Seperti pada halaman 24—26, halaman176—178 dan 275-277, yang merupakan hasil terjemahan tembang Jawa.
Terlepas dari persoalan teknis tersebut, novel ini merupakan media yang cukup menyenangkan untuk menguak kembali kekayaan dan falsafah kebudayaan Jawa. Melalui kisah Centhini