Dunia pernikahan, ibarat sangkar emas.
Yang diluar ingin masuk, yang didalam ingin keluar. Sedangkan dalam pandangan
kaum sufi, sebuah pernikahan antar sepasang kelamin hanyalah suatu kegiatan
hawa nafsu, tetapi dilegalkan oleh agama. Oleh kernanya kaum sufi itu sendiri
menganggap, pernikahan hanyalah sebuah bentuk simbolis yang menyimpan makna
rahasia hakikat hubungan antara yang transenden dan yang imanen.
Dalam legenda agama, kita diceritakan
bahwa pada mulanya Dia menciptakan Adam yang lalu, diciptakannya juga Hawa.
Anehnya, Hawa diciptakan justru dari diri Adam itu sendiri bukan berasal dari
sesuatu yang diluarnya.
Sebagaimana konon, dunia ini diciptakan
juga berasal dari Tuhan itu sendiri. Yang transenden mengimanen. Atau, semesta
dunia adalah pengejawantahan, manifestasi illahi. Dengan demikian, lalu
Adam pun dicipatakan dengan posisi berdiri tegak lurus dan ini tidak berlaku
pada mahluk lainnya. Artinya, itu berarti Adam dijadikan sebagai simbol
vertikal atau yang transenden lalu, Hawa simbol horisontal atau yang imanen.
Atau, perhatikan saja (maaf) bentuk
kemaluan Adam, bukankah berbentuk alif atau angka satu, tegak lurus..?
Sedangkan, kemaluan Hawa berbentuk angka nol. Simbol kekosongan yang bersifat
mungkin. Bisa ada, bisa tiada. Bisa menjadi ada atau menjadi tiada, itu
bergantung apakah angka satu berdiri dibelakangnya..?
Dalam literatur agama Hindu filosofi ini
diwujudkan dengan simbol, lingga dan yoni. itulah sebabnya dikatakan,
sesungguhnya segala sesuatu yang ada ini bisa menjadi ada dan tiadanya adalah
tergantung pada kehendak-Nya..!
Bertelekan pada narasi di atas,
pernikahan antar sepasang kelamin menjadilah jelas itu hanyalah sebuah bentuk
simbolisasi atas kebenaran yang menunjukan bahwa, Adam yang sebagai simbol
vertikal, ke Esaan illahiah. Sedangkan Hawa sebagai simbol nol, bola dunia
semesta haruslah disatukan kembali. Sebagaimana Hawa yang adalah berasal dari
Adam. Garwo, sigaring nyowo. Begitu pun, semesta raya yang juga adalah berasal
dari-Nya. Haruslah dinyatakan sebagai bagian dari keutuhan-Nya, hal ini menjadi
semacam perjalanan kembali. Innalillahi wa innaillaihi rojiun.
Hal ini sangat relevan ketika Sang
penyeru berpesan, " datangilah undangan pernikahan..!”
Nikah, dalam bahasa Indonesia berarti,
kawin atau bersenggama, bersetubuh, manunggaling. Pernikahan dalam pengertian
antar sepasang kelamin, yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat, hanyalah
sebuah pernikahan biasa, bersifat ritual seremonial, eksoterik yang bisa
dilakukan dan dihadiri oleh siapa saja.
Adapun, pernikahan dalam pengertian
“persenggamaan” antara Sang Khalik dengan mahluk-Nya. Adalah pernikahan agung,
bersifat spiritual, esoteris. Sederhananya, undangan pernikahan ini maknanya
ialah, menghadiri wejangan ilmu sangkan paraning dumadi untuk menuju pencapaian
puncak kesempurnaan makrifat, Manunggaling Kawulo Gusti.
Seperti termaktub juga dalam Pesan-Nya,
“ jika kamu telah akil balig dan mampu, menikahlah..!”
Kaum eksoterik, kelompok yang menganggap
kebenaran agama hanyalah apa yang tersurat bukan apa yang tersirat disebalik
ungkapannya. Memahami pesan kalimat diatas sebagaimana pandangan yang telah
kita pahami bersama yaitu, siapa yang sudah memasuki masa usia dewasa secara
biologis dan ia mampu memenuhi baik nafkah lahir maupun nafkah batin, dengan
pengertian apa saja yang menyangkut kebutuhan hidup termasuk didalamnya, seks.
Dapatlah dikatakan ia telah memenuhi
syarat tuk memasuki pernikahan. Namun, lain halnya dalam pandangan kaum sufi.
Kata mampu disini, bukan saja berarti sekedar memenuhi hal tersebut
semata. Melainkan ia juga haruslah mampu menjadi pembimbing bagi keluarga pada
jalan menuju keselamatan.
Sebab, kewajiban suami adalah disamping
mampu membahagiakan keluarga bagi kehidupan dunia, ia juga berkewajiban
menyelamatkan keluarganya untuk bisa berbahagia pada kehidupan akherat yaitu,
kembali kepada-Nya.
Pertanyaannya, dapatkah seseorang yang
belum mencapai “ pernikahan agung “ disebut sebagai orang yang telah memenuhi
syarat bagi sebuah pernikahan, sakral?
Baik, mari kita membincangnya dalam
khasanah budaya Jawa atau lebih sering disebut Kejawen. Kejawen adalah ajaran
`kajatening urip' (sejatining urip, hakekat hidup). Maka dalam hal perkawinan
dua sejoli merupakan bagian `hakekat hidup' tadi.
Artinya, bahwa perkawinan itu hakekatnya
adalah ujud `sabda dhawuh' nya Tuhan (kodrat Tuhan) kepada manusia
untuk berkembang biak. Maka dalam pandangan Kejawen, perkawinan itu sakral dan
berhubungan dengan`penciptaan' manusia baru (anak) oleh Tuhan.
Pria sejati dalam filosofi Jawa, adalah
:
Memiliki rumah, pusoko, istri, kukilo,
turonggo.
Rumah artinya, seorang pria harus
bersikap melindungi, mengayomi.
Pusoko (keris) artinya seorang pria
harus memiliki ketajaman berpikir, cerdas.
Istri artinya seorang pria harus berlaku
lemah lembut.
Kukilo artinya seorang pria harus memberi
dan menjadi kesenangan bagi siapa.
Turonggo artinya seorang pria harus
menjadi kendaraan yang mampu menghantar dan mempertemukan siapa pada jalan
keselamatan. Demikian syarat bagi seseorang untuk bisa disebut pria sejati.
Dalam Kejawen, perkawinan bukan sekedar
urusan `hukum kawin mawin' yang pijakannya sekedar memberi payung hukum masalah
kebirahian (hubungan seks), tetapi mendalam kepada tingkat pemahaman
keber-Tuhan-an. Yaitu kesadaran tentang bagaimana manusia itu diciptakan,
bagaimana hubungan penciptaan itu dengan alam semesta, dan bagaimana manusia
yang menyatakan beradab menyikapi `penciptaan' itu.
Tatacara perkawinan Jawa merupakan wujud
nyata penjelasan pandangan Jawa terhadap `hakekat perkawinan' yang fokus utamanya
kepada kodrat Tuhan untuk penciptaan atau perkembang biakan manusia. Pokok
ajaran (filosofi) Jawa tentang perkawinan ditujukan kepada `titising wiji'.
Maka tatacara adat perkawinan Jawa lebih tertuju kepada penjelasan `titising
wiji' tersebut. Penjelasannya menggunakan simbul-simbul yang bermakna dalam.
Dimulai dengan acara lamaran yang
mengekspresikan bahwa kedua keluarga calon penganten mendapatkan kesadaran
tentang terpilihnya dua keluarga tersebut oleh Tuhan dalam rangka akan
menciptakan `manusia-manusia baru' (anak). Kedua keluarga tersebut akan
`besanan' yang artinya bahwa kedua keluarga tersebut bersedia `dipilih Tuhan'
untuk penciptaan (perkembang biakan) manusia yang akan menjadi anak-keturunan
kedua keluarga tersebut.
Karena landasannya berupa `penerimaan'
sabda dhawuhing Gusti untuk penciptaan manusia, maka fokus perhatian adat
istiadat Jawa tertuju kepada `penciptaan' tersebut. Oleh karena itu dalam
upacara perkawinan ditentukan persyaratan-persyaratan (berupa simbul-simbul)
yang intinya: kesucian, keindahan, kesemestaan, dan doa untuk segera terjadi
`titising wiji'.
`Titising wiji' merupakan wujud nyata
`penciptaan', maka menjadi pokok perhatian adat Jawa dalam hal perkawinan.
Wujud perhatian tersebut diawali berupa doa harapan yang diekspresikan dalam
upara robyongan atau temon dan pesan-pesan serta larangan-larangan yang harus
dijalani penganten setelah menikah.
Kemudian dilanjutkan dengan adanya
upacara dan persyaratan-persyaratan yang harus dijalani kedua mempelai ketika
yang perempuan sudah mulai mengandung.
Diantaranya berupa ritual tiga bulanan
dan tujuh bulanan serta larangan macam-macam bagi si calon ibu dan calon bapak
(diantaranya larangan membunuh mahluk bernyawa). Upacaranya mengacu kepada
`syukur' atas `kebenaran' sabda dhawuhing Gusti, sedang larangan yang harus
dijalani si calon ibu dan calon ayah
Apakah dalam budaya dan peadaban lain
(termasuk yang bertolak dari ajaran agama) mengenal ritual untuk terciptanya
manusia di kandungan Ibu sebagaimana yang ada di budaya dan peradaban Jawa ?
Lhoh kok malah dijadikan panutan ? Apa
tidak ketatab suwung, kesandhung rata, kebenthus ing tawang namanya? Rumangsane
bener dan suci dhewe, jebule malah jauh dari kriteria beradab. Perkawinan kok
mik dipandang dari urusan hubungan seks. Hukumnya juga mengacu ke masalah itu
saja. Contohnya, masalah masa haid, nifas dan masa idah itu kok ujung-ujungnya
begitu rendah, kapan seorang perempuan bisa dipergauli bukan ? Kok tidak
ngrembuk masalah `titising wiji' ya ?
Jadilah pria sejati dan, lalu rayakanlah
pernikahan agung..!!!
tetapi ingat, pernikahan dibatasi hanya
boleh dengan empat istri. Artinya, pernikahan agung hanya akan terwujud hanya
jika dirayakan dengan yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang batin..!
Pria atau priyayi, kadang disebut kaum
ningrat. Mereka adalah kelompok kecil kaum elite. Yaitu, siapa yang senantiasa
berada pada wilayah kontemplasi, hidup bersama, dengan dan didalam keheNINGan
RATu. Demikian, semoga bermanfaat untuk lebih memahami `sejatining urip' yang
merupakan landasan pokok ajaran Kejawen. Suwun.
COPAS
COPAS