Struktur Insan dalam Al-Qur’an : Apa yang Tersentuh Oleh Psikologi Analitik, dan Status Kecerdasan Spiritual (SQ)
Oleh Zamzam A. Jamaluddin T dan Tri Boedi Hermawan, Yayasan Paramartha
Terbatasnya pengetahuan para teoritikus kepribadian Barat tentang
struktur internal manusia telah melahirkan banyak mazhab kepribadian.
Kerangka keilmiahan telah membatasi mereka dalam proses analisis dan
sintesis konsepsi kepribadian manusia seutuhnya. Carl Gustav Jung
melakukan terobosan dalam membangun psikologi analitiknya, ia melibatkan
data-data mitologi dan simbol-simbol agama ke dalam kerangka analisis
ilmiahnya. Dalam alur ini, Kecerdasan Spiritual (SQ) dalam proses
perumusannya tidak sekadar meninjau keparalelan antara produk saintifik
Barat dengan fenomena mistik Timur, tapi tampak memaksakan melakukan
interpretasi atas fenomena metafisik spiritual secara fisika dan sains
neural, dan ini melahirkan sejumlah paradoks. Paper ini membahas tentang
struktur internal manusia berdasarkan kerangka acuan Al-Qur’an,
kemudian akan dilihat persoalan apa yang tersentuh oleh konsepsi
individuasi Jung dan status SQ dalam peta ini.
Terumuskannya sejumlah teori kepribadian merupakan cermin dari upaya
ilmiah manusia untuk memahami dirinya sendiri secara menyeluruh. Dewasa
ini dikenal tiga teori utama yang satu dengan yang lainnya berbeda,
yakni teori kepribadian Psikoanalisa (Freud), teori kepribadian
Behaviorisme (Skinner), dan teori kepribadian Humanistik (Maslow)[1].
Istilah kepribadian (personality) memiliki banyak arti, ini disebabkan
oleh adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian, dan
pengukurannya. Di antara para psikolog belum ada kesepakatan tentang
arti dan definisi “kepribadian”, sehingga banyaknya definisi kepribadian
sebanyak ahli yang mencoba merumuskannya. Melihat asal katanya,
personality itu sendiri berasal dari kata latin persona yang berarti
topeng.
1. Pendahuluan
Setiap penggagas kepribadian mengajukan asumsi-asumsi dasar tertentu
tentang manusia, yang kemudian hipotesis-hipotesis tersebut mempengaruhi
konstruksi dan isi dari teori kepribadian yang disusunnya. Abraham
Harold Maslow (1908-1970) memperlihatkan komitmen yang tinggi terhadap
anggapan dasar tentang manusia sebagai makhluk bebas, sementara Sigmund
Freud (1856-1939) dan Burrhus Frederic Skinner (1904-1990) sebagai
penganut determinisme berlawanan dengan Maslow, mereka berasumsi bahwa
manusia bukanlah makhluk yang bebas melainkan organisme yang tingkah
lakunya dideterminasi oleh sejumlah determinan.
Freud menyatakan bahwa determinan manusia berasal dari dalam diri
manusia itu sendiri (faktor internal), sementara Skinner menyatakan
bahwa faktor-faktor penentu tersebut berasal dari stimulus-stimulus
eksternal. Maslow berpendapat bahwa manusia itu makhluk rasional,
sementara Freud berpegang pada anggapan dasar bahwa manusia merupakan
makhluk yang cenderung irasional, dimana sebagian besar dari tingkah
laku manusia didorong oleh kekuatan-kekuatan irasional yang tidak
disadari; Skinner dalam hal ini tidak begitu terikat pada hipotesis
rasional-irasional.
Tentang motivasi, rumusan Freud bertumpu pada konsep homeostatis, yaitu
suatu konsep yang diilhami oleh gagasan kesetimbangan (equilibrium)
fisis Leibniz, ia menerangkan bahwa tingkah laku manusia terutama
dimotivasi oleh upaya pengurangan tegangan-tegangan internal
(memuncaknya energi naluri/insting dari id) yang terjadi akibat
ketidakseimbangan fisis. Dalam hal ini Skinner berpendapat bahwa tingkah
laku manusia tidak digerakkan oleh agen-agen internal yang disebut
naluri, melainkan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Freud
dengan psikoanalisanya percaya bahwa misteri manusia akan bisa diungkap
seluruhnya melalui upaya-upaya ilmiah, karena pada dasarnya tubuh
manusia mengikuti hukum-hukum fisika; Skinner dan segenap behavioris
memiliki anggapan yang sama dengan Freud. Berlawanan dengan pandangan di
atas, Maslow sepaham dengan William James (1842-1910), seorang filsuf
dan tokoh psikologi terkemuka Amerika, bahwa manusia tidak akan bisa
diungkap sepenuhnya hanya melalui upaya-upaya ilmiah.
Pelibatan aspek ketaksadaran (unconsciousness) dalam psikoanalisa telah
menarik minat Carl Gustav Jung (1875-1961) untuk bergabung dengan Freud.
Mengikuti alur Freud, konstruksi dasar psikologi Jung juga sangat
dipengaruhi oleh perkembangan sains dan filsafat Abad ke-19, seperti
teori Evolusi Darwin, temuan-temuan arkeologis, dan studi komparatif
tentang masyarakat dari budaya-budaya yang berbeda. Tetapi kemudian
terjadi pertentangan mendasar antara kedua tokoh besar tersebut. Jung
menolak penekanan Freud yang meletakkan dorongan seksual manusia di atas
kebutuhannya terhadap makanan, kehidupan spiritual, atau
pengalaman-pengalaman religius tertentu. Dia juga tidak sependapat
dengan pandangan mekanistik Freud tentang dunia; bagi Jung, karekter
manusia tidak hanya dikondisikan oleh apa-apa yang telah terjadi di masa
lampau, tapi juga dipengaruhi oleh visi-visi masa depan. Adapun Freud
tidak setuju dengan konsepsi Jung tentang collective unconscious, teori
ini bertumpu pada pandangan phylogenetic tentang pengalaman-pengalaman
masa lampau dari ras manusia yang diwariskan secara individual melalui
memory traces.
Teori kepribadian Freud dan Jung mencakup seluruh aspek sadar dan tak
sadar dalam diri manusia, untuk membedakan teorinya dengan psikoanalisa
Freud, maka Jung menamai teori kepribadiannya dengan istilah psikologi
analitik. Individuasi (realisasi diri) merupakan inti ajaran Jung,
berkaitan dengan pergeseran titik pusat kesadaran dari ego ke self,
dimana gagasan ini dibangun Jung secara transpersonal berdasarkan studi
atas simbol-simbol mitologis dan simbol-simbol religius agama Barat
maupun Timur. Dengan data-data tersebut, Jung berupaya mencari hubungan
antara isi ketaksadaran dalam diri manusia di Barat dengan mite-mite dan
ritus-ritus manusia primitif.
Dalam teori Jung, ketika konstruk ego yang terbangun mulai menyadari
eksisnya sesuatu selain dirinya yang bersifat irasional, terjadilah
konflik batin. Meningkatnya “entropi” psikis di ruang sadar akan
direspon oleh permukaan subconscious, dan terjadilah aliran energi
psikis (libido), yang arahnya ditentukan oleh prinsip ekivalensi
“termodinamika”. Respon dari ‘lautan’ ketaksadaran akan menampakkan diri
di level sadar umumnya berbentuk simbol-simbol mandala, yang pada
prinsipnya membawa pesan tentang arah dari tertib diri. Dalam praktek
klinisnya, Jung melihat bahwa bagian tak-sadar bukan saja bersifat
komplementasi (saling melengkapi), tetapi juga kompensasi (saling
mengimbangi). Menurut Jung, proses individuasi ini disebabkan oleh
potensi-potensi asli yang mengarah pada tujuan tertentu, menuju ke suatu
keutuhan psikis yang lebih kokoh. Energi psikis yang terarah pada suatu
tujuan tertentu yang bersifat “final” ini mirip dengan pandangan
teleologi Aristoteles (384-322 SM), dimana ia menggunakan istilah
entelecheia (en=dalam diri manusia; telos=tujuan; echein=memiliki) yang
berarti: di dalam diri sendiri terdapat sesuatu yang harus dicapai[2].
Dalam proses individuasi Jung, yang dititikberatkan bukanlah ego
melainkan self. Jika Jung menggunakan data-data kejiwaan dalam banyak
agama, maka apa hakikat sebenarnya dari ego dan self ini dipandang dari
konsepsi batiniah agama seutuhnya? Apa status menjadi pribadi seutuhnya
atau menjadi diri sendiri tersebut dipandang dari kerangka agama itu
sendiri?
2. Struktur Insan Dalam Pandangan Qur’aniyah
Peta kejiwaan dan mekanisme interaksi antar modus-modus jiwa, dalam
kerangka psikologi yang dibangun secara ilmiah, tampak tidak jelas dan
banyak menyisakan lubang-lubang di sana sini. Dalam literatur barat
sendiri penggunaan istilah-istilah seperti soul, spirit, heart, mind,
dan intellect sering campur aduk ketika mengidentifikasi
persoalan-persoalan yang bersentuhan dengan konsepsi kejiwaan.
Istilah psycho sendiri yang dipakai dalam konstruk kata psikologi
(psychology) berasal dari kata Yunani psyché (Ynch) yang artinya “nafas
kehidupan”, dalam mitologi Yunani digambarkan sebagai kupu-kupu. Dalam
hal ini, kupu-kupu merupakan perlambang jiwa yang bebas terbang setelah
menempa diri dengan “puasa”, keluar dari bungkus kepompongnya. Dua sayap
kupu-kupu yang membawa dirinya terbang meninggalkan “bumi” melambangkan
dua akal, akal jiwa dan akal raga; dua akal tersebut eksis secara
potensial di dalam tubuhnya saat ia sebagai “ulat”, persoalan yang sama
dalam representasi yang berbeda bisa dikaji dalam “Alegori Gua” Plato
(428-347 SM)[3].
Dalam konsepsi pramodern, manusia dibagi atas tiga entitas, corpus,
animus, dan spiritus[3]. Animus berasal dari bahasa Yunani anemos yang
bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus
(wadah atau bungkus). Maka corpus adalah body (raga/jasad); dan spiritus
adalah spirit (ruh); dan animus identik dengan psyche yang bermakna
soul (jiwa/nafs). Dewasa ini istilah jiwa yang dipakai dalam psikologi
telah mengalami penyempitan makna. Jiwa dalam terminologi psikologi
modern lebih ke aspek psikis, dimana aspek psikis ini lebih merupakan
riak gelombang permukaan di atas lautan dalam yang disebut jiwa. Fungsi
ruh terhadap jiwa dan fungsi ruh terhadap jasad bisa dilihat dalam
referensi[4].
Dalam terminologi Qur’aniyah, struktur manusia dirancang sesuai dengan
tujuan penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam istilah
Al-Quran disebut nafs menjadi target pendidikan Ilahi. Istilah nafs
didalam Islam sering dikacaukan dengan apa yang dalam bahasa Indonesia
disebut hawa nafsu, padahal istilah hawa dalam konteks Qur’ani memiliki
wujud dan hakekat tersendiri. Aspek hawa dalam diri manusia berpasangan
dengan apa yang disebut sebagai syahwat. Sedangkan apa yang dimaksud
dengan an-nafs amara bissu’ dalam surat (Yusuf [12]: 53) adalah nafs
(jiwa) yang belum dirahmati Allah SWT:
“Dan aku tidak membebaskan nafsku, sesungguhnya nafs itu cenderung
mengarah kepada kejahatan, kecuali yang dirahmati oleh Rabb-ku.”
Hawa merupakan kecenderungan kepada yang lebih bersifat non-material,
yang berkaitan dengan eksistensi dan harga diri, persoalan-persoalan
yang wujudnya lebih abstrak. Hawa merupakan entitas, produk persentuhan
antara nafs dan jasad. Sedangkan syahwat merupakan kecenderungan manusia
pada aspek-aspek material (AliImran [3]: 14), dan ini bersumber pada
jasad insan yang wujudnya memang disusun berdasarkan unsur-unsur
material bumi (air, tanah, udara, api).
Nafs manusia diuji bolak-balik di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang
berpusat di jasad dan kutub ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds.
Ar-Ruh ini beserta tiupan dayanya (nafakh ruh) merupakan wujud yang
nisbatnya ke Martabat Ilahi dan mengikuti hukum-hukum alam Jabarut.
Aspek ruh ini (jamak arwah) tetap suci dan tidak tersentuh oleh
kelemahan-kelemahan material dan dosa, spektrum ruh merupakan sumber
dari segala yang maujud di alam syahadah ini—maka tak ada istilah
tazkiyyatur-ruhiyyah atau mi’raj ruhani.
Al-Ghazali dalam Kitab Ajaaibul Qulub[5] jelas membedakan
istilah-istilah seperti qalb (rasa jiwa, bukan rasa jasadiah/psikis),
nafs, ruh, dan ‘aql; dimana istilah-istilah ini dalam konsepsi psikologi
modern tak terpetakan dengan tegas karena berada pada tataran jiwa yang
bersifat malakut, atau secara psikologi analitik berada di ruang
ketaksadaran.
Prinsipnya, apa yang disebut sebagai manusia sempurna (insan kamil)
dalam terminologi Al-Qur’an, minimal manusia yang sudah memiliki
struktur seperti tercantum dalam An-Nur [24]: 35, seorang Insan Ilahi.
Manusia dikatakan sebagai khalifatullah (wakil Allah) di bumi jika ia
telah mencapai state tersebut, ia membawa kuasa Allah dan bercitra
Ar-Rahman.
“Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan
sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut
di dalam kaca, kaca itu seolah kaukab yang berkilau dinyalakan oleh
(minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh
tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya
saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas
cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.
Ayat tersebut mengisyaratkan tentang manusia, dimana di dalam jasad
(misykat)-nya terdapat nafs (jiwa) yang qalb (zujajah)-nya bercahaya
seperti bintang karena telah dinyalakan dari dalam dengan api Ruh
al-Quds (misbah). Adapun misykat sifatnya kusam dan tak tembus pandang,
sebagai perlambang jasad yang berasal dari alam mulk (ardhiyah),
merupakan manifestasi terendah dari kehadiran Al-Haq dalam alam
syahadah.
Bola kaca zujajah yang jernih tembus pandang melambangkan qalb,
merupakan aspek rasa dari si nafs yang berasal dari alam malakut. Si
nafs melakukan serangkaian proses tazkiyyatun-nafs (pensucian jiwa)
sehingga jernihlah qalbnya dan tampaklah titik-apinya menyala di inti
jiwa. Jika insan dapat mencapai state seperti digambarkan An-Nur [24]:
35, maka insan tersebut dinamai syuhada (saksi Allah sejati) karena
telah berperan sebagai cahaya yang menampakkan khazanah Ilahi sebagai
Harta Terpendam (Kanzun Makhfiyan)[6]. Ayat di atas menyatakan struktur
target yang harus manusia capai walau sulit.
Rasulullah SAW menyinggung tentang eksistensi jiwa (nafs) yang qalbnya telah diperkuat oleh api Ruh al-Quds, sebagai berikut:
“Qalb itu ada empat macam, pertama, qalb yang bersih, di dalamnya
terdapat pelita yang bersinar cemerlang, itulah qalb al-mu’min; kedua,
qalb yang hitam terbalik, itulah qalb orang kafir; ketiga, yang
terbungkus dan terikat pada bungkusnya, itulah qalb orang yang munafik;
dan keempat, qalb yang tercampur, di dalamnya terdapat iman dan nifaq.”
Ruh al-Quds yang dilambangkan oleh pelita yang menyala di dalam qalb,
merupakan utusan-Nya di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan
hidup (amr) si nafs di dunia ini. Pengutusan rasul yang batin ke dalam
inti dari nafs ini lebih dari sekedar simbol bahwa pengabdiannya
diterima (diridhai). Ruh al-Quds merupakan juru nasehat si nafs dari
dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat dengan ruh ini, selain disebut
sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya
juru nasehat dari dalam qalbnya), juga disebut sebagai an-nafs
al-muthmainah. Disebut muthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil
dalam orbit dirinya (qudrah diri/swadharma), di sini ruh tadi disebut
pula sebagai sakinah (syekinah dalam bahasa Ibrani) yang diturunkan ke
qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) amr.
“Dialah yang telah menurunkan as-sakinah ke dalam qalb orang-orang
al-mu’min, agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan yang telah
ada” (Al-Fath [48]: 4).
“Apabila Allah menghendaki kebaikan (khairan) atas seorang hamba, maka
diadakannya pemberi pelajaran dari qalb-nya” (Rasulullah SAW).
“Barang siapa memiliki juru-nasehat dari dalam qalbnya, berarti Allah
telah memberi seorang penjaga (hafidh) atasnya” (Rasulullah SAW).
“Seandainya syaithan-syaithan tidak mengelilingi qalb anak Adam, niscaya
mereka dapat melihat ke malakut langit” (Rasulullah SAW).
Qalb menjadi hitam dan terbalik jika ia mempertuhankan hawa nafsu,
mengingkari dan mendustakan kebenaran (al-haq). Hati yang seperti ini
akan memandang bagus atas segala yang mereka kerjakan, karena tertutup
ilusi dan waham syaithan. Adapun qalb si munafik terikat pada bungkus
jasadiyah, merupakan qalb yang terlalu mencintai dunia (terikat kepada
syahwat jasmaniah); pandangan batinnya tertipu oleh nilai-nilai estetik
fisik dengan tanpa melihat hakikatnya, maka ia bisa ‘menjual’ agamanya
demi kesenangan sesaat.
Seperti telah diulas tadi, bahwa si nafslah yang menjadi fokus
pendidikan Ilahi. Alam dunia ini bagi nafs sebenarnya hanya sebuah
jenjang ’sekolah dasar’, Rasulullah SAW berkata bahwa alam dunia ini
hanyalah sebuah jembatan kecil yang menghubungkan dua alam besar, dan si
nafs diuji dalam pengembaraannya di ‘oase’ ini; sementara ia harus
menyelesaikan sejumlah jenjang ’sekolah lanjutan’ lagi. Di alam dunia,
jasad atau raga insan berperan sebagai kendaraan bagi si nafs untuk
menemukan al-haq di bumi jagat ini sebagai pelajaran pertamanya. Si nafs
harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit,
atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan
hakikat dari setiap khalq adalah al-haq.
“Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami di ufuk (semesta) dan di dalam
nafs masing-masing, hingga jelaslah bagi mereka itu bahwa itu adalah
al-haq” (Al-Fushshilat [41]: 53).
“Tiap segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya” (Al-Qashash [28]: 88).
Sebelum memahami bahwa Dia ada di mana-mana dan Dia lebih dekat dari
urat leher, maka si nafs harus melihat kepada aspek wajah-Nya berupa
Al-Haq; ia harus melihat bahwa hakikat dari segala sesuatu di alam
semesta, berupa ayat-ayat Kauniyyah, adalah al-haq; juga hakikat dari
apa yang ada di dalam nafs-nya tak lain adalah al-haq yang mengalir dari
Martabat Ilahi. Sebelum si nafs dimasukkan ke dalam kurungan jasad
(corpus) janin di dalam rahim ibu, maka si nafs dipanggil terlebih dulu
ke hadapan Allah SWT, katakanlah ini adalah status nafs ketika di alam
Nur atau alam Alastu.
“Dan ketika Rabb-mu hendak mengeluarkan keturunan bani Adam dari sulbi
mereka, dan Allah telah mengambil kesaksian atas nafs-nafs mereka,
‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ mereka menjawab ‘Benar! Kami menyaksikan’
Agar di hari kiamat kamu tidak berkata: ‘Sesungguhnya kami lengah (atas
kesaksian) ini’” (Al-Araf [7]: 172).
Sebelum nafs diturunkan di alam dunia, maka dalam kesaksian ini qadha
dan qadarnya ditetapkan terlebih dahulu: “amal-amal insan dikalungkan
pada ‘leher’nya” (Q.S Al-Isra’ [17]:13). Ketetapan-ketetapan ini berupa
misi hidup (swadharma) yang harus dimanifestasikan di muka bumi, ini
merupakan amanah Allah yang telah digariskan sesuai dengan bakat langit
si nafs (swabhawa), misi hidup setiap insan bersifat unik tidak ada yang
sama satu dengan lainnya. Misi (dharma) si nafs harus ditemukan dan
dijalankan di bumi ini, tidak ada perubahan dalam dharma si nafs, karena
bakat langit (swabhawa) si nafs merupakan fitrah yang tidak berubah,
dan sebagian besar manusia tidak mengetahui ketetapan dirinya karena
qalb-nya terpendam dosa.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada ad-Din. Fitrah Allah, yang
Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah ini, tidak ada perubahan
pada ciptaan Allah. Inilah ad-Diin yang teguh, tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui” (Ar-Ruum [30]: 30).
Jika tanpa Rahmat Allah SWT, ketetapan-ketetapan Allah yang tertulis di
dada si nafs tidak akan terbuka, dan ini merupakan rizqi batin manusia
yang kuncinya ada di dalam nafs. Sementara untuk mencapai ini sulit
karena harus menggeser pusat kesadaran dari ego ke nafs (self).
Dari alam Nuur, setelah 120 hari penyusunan janin bayi, maka nafs yang
telah diamanahi qudratullah beserta ruh yang akan mengisi jasad si bayi
diturunkan. Di sini si nafs berada dalam tiga kegelapan.
“Kemudian Dia menyempurnakan (janin), dan meniupkan kedalamnya ruh-Nya,
dan Dia menjadikan bagimu, pendengaran, penglihatan, dan fu’ad, tapi
sedikit di antara kamu yang bersyukur” (As-Sajdah [32]: 9).
“Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu tahap demi tahap dalam tiga kegelapan” (Az-Zumar [39]: 6).
Bagi si nafs sewaktu masih di dalam rahim, kegelapan pertama adalah
wadah jasadnya sendiri, lapis kegelapan kedua adalah jasad ibunya, dan
kegelapan ketiga adalah penjara alam dunia yang bersifat material.
Maka ketika nafs dilahirkan via jasmani raganya ke alam dunia, nafs yang
sudah terpenjara oleh tabiat-tabiat jasadnya kemudian harus bertumbukan
pula dengan cakrawala dunia ‘bawah’. Maka nafs yang berasal dari cahaya
Ilahi (bersifat metafisika) fu’ad-nya menjadi cenderung senang untuk
di-rule dan diracuni oleh tabiat-tabiat dan implikasi-implikasi hukum
fisis.
Merujuk ke Al-Ghazali[5], dimana beliau menggunakan terminologi qalb
sebagai modus nafs, bahwa nafs memiliki dua jenis tentara, tentara lahir
dan tentara batin. Tentara lahir adalah jasad, khususnya indera-indera
yang secara langsung mencerap alam syahadah. Perangkat jasadiyah ini
merupakan delapan pasang aspek ‘ternak’ yang harus digembalakan; ingat
bahwa jasad merupakan ‘kuda’ tunggangan bagi nafs yang terlebih dulu
harus ditundukkan dan digembalakan.
“Dia menciptakan dari nafs wahidah, kemudian mengadakan darinya
pasangannya, dan menurunkan bagimu delapan ternak yang
berpasang-pasangan.” (Az-Zumar [39]: 6).
Kedelapan aspek ‘ternak’ yang harus dikendalikan si nafs meliputi :
1. sepasang mata untuk penglihatan.
2. sepasang telinga untuk pendengaran.
3. sepasang lubang hidung untuk penciuman.
4. sepasang tangan untuk memegang.
5. sepasang kaki untuk berjalan.
6. indera pengecap pada lidah yang dipasangkan dengan perut untuk syahwat makan dan minum.
7. pasangan fungsi mulut dan laring untuk bersuara dan berkata-kata.
8. pasangan farji dan indera peraba untuk reproduksi.
Setiap ternak (an’aam) pada prinsipnya memiliki delapan aspek di atas
sebagaimana dimiliki manusia, yang difungsikan oleh aspek ‘otak’ yang
secara fisis dibuat berpasangan pula. Hewan ini memiliki daya (nafas
Ruh) yang menghidupkan tubuhnya, tapi mereka tidak memiliki nafs yang
harus mempertanggungjawabkan perbuatan dirinya. Karena nafs manusia
membawa fu’ad (mind, aspek akal jiwa), maka bagi manusia sepasang
otaknya (yang wujud fisiknya tak berbeda dengan ternak) selain menjadi
pusat syaraf untuk mengkoordinasi tubuh, juga menjadi pusat pikiran yang
ini justru sering menjadi faktor utama yang membawa ‘kejatuhan’
manusia. Faktor pikiran ini (yang merupakan aspek permukaan dari fu’ad)
yang akan secara efektif mengkonstruk apa yang secara psikologis disebut
ego.
Apa yang disebut ego ini merupakan ‘kepala’, bagi apa yang disebut oleh
Al-Ghazali sebagai tentara batin. Apa yang disebut dalam Al-Qur’an
sebagai hawa (hawa nafsu) adalah keluar dari tentara batin ini; karena
sifatnya plural, bersifat non-material, melekat pada nafs (seperti
minyak di atas permukaan air), dan mengeluarkan hawa
(kecenderungan-kecenderungan yang tidak sejalan dengan orbit jiwa), maka
diberi istilah nufusul-hawiyyah.
Jika si nafs lumpuh karena dosa-dosa yang dimasukkan jasad lewat
pintu-pintu indera dan pikiran, maka kepribadian insan dipegang oleh
‘kepala’ dari tentara batin: ego. Ego ini jika dikendalikan nafs
sebenarnya merupakan perangkat yang sangat penting bagi nafs untuk
menjalankan kodrat dirinya. Jika nafs disembuhkan dengan Rahmat Allah
Ta’ala, maka pusat kesadaran dan kepribadian secara bertahap akan
bergeser dari ego ke nafs; konstruk ego yang salah-bentuk akan segera
diruntuhkan nafs untuk dikonstruk ulang menjadi bentuk baru yang lebih
sesuai dengan kepentingan dharma si nafs. Karena entitas
nufusul-hawiyyah ini berasal dari kekuatan amr yang dibawa si nafs yang
menemukan padanannya di hissiyah jasadiyyah secara unik, maka
rekonstruksi ego dari setiap manusia akan berbeda satu sama lain.
Ego dibentuk dan ditumbuhkan melalui fikiran oleh dua kekuatan,
pertama persepsi inderawi yang bersifat syahwati, dan kedua oleh hawa
nafs. Interaksi timbal balik dua kekuatan ini melalui link ego menjadi
cenderung memperkuat satu sama lain dan membangun kompleks-kompleks
sayyi’ah jiwa. Manusia digelapkan qalb-nya dan dilumpuhkan nafs-nya oleh
dua perkara yaitu cinta dunia dan mempertuhankan hawa.
“Berkata ia,’Ya Rabbi, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta,
padahal aku dulu (di dunia) adalah seorang yang melihat?’” (Thaha [20]:
125).
“Karena sesungguhnya bukanlah matanya yang buta tetapi qalb yang di dalam dada” (Al-Hajj [22]: 46).
“Yang demikian itu disebabkan oleh karena mereka mencintai kehidupan
dunia di atas akhirat… Mereka itulah yang qalb, pendengaran, dan
penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka adalah
orang-orang yang lalai” (An-Nahl [16]: 107-108).
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawanya sebagai
tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah
kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami?
Mereka itu tidak lain bagaikan ternak bahkan lebih tersesat jalannya”
(Al-Furqaan [25]: 43-44).
“Dan barang siapa buta di dunia ini, maka di akhirat akan buta pula dan lebih tersesat jalannya” (Al-Isra [17]: 72).
Bila nafs dirahmati Allah Ta’ala, maka secara bertahap indera-indera
batinnya mulai bangun dan menguat, karena hijab-hijab dosa di qalb-nya
mulai tanggal. Si nafs yang telah tumbuh kuat akan segera melakukan
proses penggembalaan dan pendidikan atas tentara lahir dan tentara
batinnya.
“Dan adapun mereka yang takut akan maqam Rabb-nya dan menahan nafsnya dari hawa” (An-Naazi’at [79]: 40).
Jika ego tidak dikonstruksi-baru oleh nafs, maka akan menjadi pabrik
penghasil sayyiah, dimana ‘racun’ hati ini secara efektif dapat
mematikan qalb. Kesadaran, secara psikologis, berpusat di ego, sementara
qalb dan nafs berada di bawah level kesadaran atau di ketaksadaran
(unconsciousness).
Jika hijab kompleks dan sayyiah lenyap, maka ego akan mengorbit ke nafs
dan memperluas bidang kesadaran. Ketika ego di bawah kontrol nafs maka
kekuatan syahwat dan hawa akan berada di bawah kendali amr si nafs, dan
ketika pusat kesadaran berpindah ke nafs maka nafs menjadi pusat
kepribadian yang bersifat utuh mencakup baik level sadar maupun level
tak sadar. Dengan berkiblatnya ego ke nafs maka seluruh indera jasad
berada di bawah kontrol nafs dan qalb, disini inderawi dan pikiran
memperoleh kekuatan tambahan berupa aspek ruhani yang berpusat di qalb,
manusia menjadi berfikir dan ber-‘aql dengan qalb-nya.
“Qalb bagaikan raja, jika shalih rajanya maka shalih pula
tentara-tentaranya, dan jika jahat rajanya maka jahat pula
tentara-tentaranya.” (Rasulullah SAW)
Jika cahaya qalb tidak menyentuh ego dan pikiran, maka pada hakikatnya
manusia belum mengenal qalb-nya apalagi memfungsikannya. Karena qalb tak
berfungsi, maka manusia tersebut dikatakan belum memiliki qalb (buta
hati) kecuali hati jasmaniahnya saja, dan hanya memiliki satu akal yaitu
pikirannya saja.
“Mereka memiliki qalb tetapi tidak digunakan untuk memahami, mereka
memiliki mata tetapi tidak digunakannya untuk melihat, dan mereka
mempunyai telinga tetapi tidak digunakannya untuk mendengar, mereka
seperti ternak bahkan lebih tersesat” (Al-A’raf [7]: 179).
Dengan transformasi akal dari ego ke lubb, maka kesadaran seseorang
ditransformasi terus-menerus hingga menyentuh Lathifah Ilahiyah,
sehingga qalb-nya “melihat” al-haq dimana-mana (Al-Fushshilat [41]: 53).
Dalam dunia tashawwuf, hirarki ‘uruj kesadaran batin mencakup tujuh
proses
Dalam proses ini, tahapan insan untuk memenuhi struktur yang dituntut
oleh An-Nuur [24]: 35 menjadi terlampaui. Ini adalah proses manusia
untuk mengenal Rabb-nya, yang harus diawali dengan kesadaran atas
keberadaan nafs dalam jasadnya sebagai jati diri yang sebenarnya.
“Barangsiapa mengenal nafsnya maka akan mengenal Rabb-nya.” (Rasulullah SAW)
Dengan bermujahadah pada proses tazkiyyatun-nafs maka instrumen mata dan
telinga batin (nafs) akan mulai bangun secara bertahap. Seperti
bangunnya akal jasadi pada bayi oleh tumbukan terus menerus citra alam
dunia melalui indera mata dan telinganya, maka pengendalian mata dan
telinga jasmani dari hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala akan
mencergaskan kembali penglihatan dan pendengaran si nafs, dan dengan
sehatnya dua indera batin tersebut akan mulai mengaktivasi akal jiwa
(lubb). Manusia yang lubb-nya hidup dinamai sebagai Ulul-Albaab, dan
hanya Ulul-Albaab yang bisa memahami kalimah Ilahiyah di alam semesta.
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.
Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali Ulul-Albaab” (Al
Baqarah [2]: 269).
Proses ‘uruj tadi merupakan proses taubat, dimana makna taubat adalah
perjalanan kembali menuju Allah, merupakan proses ditariknya si hamba
mendekat kepada-Nya, dan ini akan melampaui semesta alam-alam, karena
jarak antara si hamba dengan Dia adalah tak hingga. Dan tidak ada alam
yang ia lampaui, kecuali lubb-nya akan menguasai urusan-urusan di alam
tersebut. Siapa yang bertaubat (kembali kepada Allah) maka itu baru awal
dari hidayah (pemberian petunjuk), dan siapa yang tidak mencari Allah
(tidak bertaubat) maka mendzalimi dirinya sendiri.
“Dialah yang memperlihatkan kepadamu ayat-ayat-Nya dan menurunkan
kepadamu rizki dari langit (jiwa). Dan tidak ada yang bisa mengambil
pelajaran kecuali orang-orang yang bertaubat(kembali).” (Al-Mu’min [40]:
13)
“Dan sesungguhnya Aku menjadi Maha Pengampun bagi mereka yang bertaubat,
beriman, dan beramal shalih, kemudian atasnya petunjuk” (Thaha [20]:
82).
“Siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim” (Al-Hujurat [49]: 11).
3. Apa Yang Tersentuh Oleh Psikologi Analitik
Seperti yang telah diulas tadi bahwa yang menarik dari psikologi
analitik C.G. Jung terutama konsep individuasinya, suatu proses menjadi
diri sendiri atau realisasi diri. Konsepsi ini dibangun Jung secara
transpersonal dengan melibatkan khususnya simbol-simbol religius dari
mitologi-mitologi kuno dan terutama agama-agama Timur.
Wajar Jung memperoleh inspirasi individuasi ini dari simbol-simbol agama
karena tidak ada satu agama besar pun yang meluputkan aspek spiritual
penemuan-diri. Aspek batin dari setiap agama dalam upaya mencari
kebenaran sejati dan kedekatan dengan Sang Pencipta selalu melalui
proses transformasi diri. Tidak ada satu kaum atau suatu peradaban pun,
baik besar maupun kecil, kecuali diturunkan di situ rasul-rasul-Nya
(Ibrahim [14]: 4), meski representasi ritualnya berbeda-beda tapi esensi
dan tujuan sejati dari setiap agama yang diturunkan Dia selalu sama.
Proses pengenalan kepada Tuhan selalu diawali dengan proses
pengenalan-diri, bahkan tujuan pengetahuan itu sendiri adalah untuk
mengenal-diri.
Beberapa agama (terutama Hindu dan Buddha) terkadang sangat menonjolkan
proses transformasi kejiwaan ini, agama Kristen lebih menonjolkan oknum
spiritualnya (Ruh al-Quds), dan agama Islam menonjol dalam implementasi
dharma; singkatnya tidak ada satu agamapun (sepanjang berasal dari Sang
Pencipta) kecuali membawa ajaran terpenting, yaitu amr penemuan-diri
[7]. Agama-agama itu berhubungan satu dengan lainnya, dalam hal ini
kitab-kitabnya, masing-masing memiliki peran yang berbeda dan saling
berkompelemen satu sama lain dan membentuk suatu bangunan utuh; seperti
diisyaratkan Nabi Muhammad SAW bahwa beliau merupakan batu-bata terakhir
yang melengkapi dan menggenapi Ka’bah, sementara batu-bata yang lain
dalam bangunan melambangkan Nabi-Nabi bagi umat-umat yang lain, agama
telah tertutup dan Islam adalah agama terakhir sebagai penyempurna.
“Dan mereka yang beriman kepada (Kitab) yang telah diturunkan kepadamu
dan kepada (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan akhirat.” (Al-Baqarah[2]:4)
Bagi Jung, kepribadian (personality) itu harus mencakup keseluruhan
aspek sadar (consciousness) dan tak sadar (unconsciousness) yang ada di
dalam diri manusia, maka jelas ego bukanlah perwakilan dari kepribadian
total yang ia sebut sebagai psyche. Dalam psikologinya, ego merupakan
pusat bidang kesadaran sekaligus subjek bidang kesadaran. Sebagai
subjek, maka ia berfungsi aktif dalam menghubungkan isi-isi psikis
sehingga dapat disadari. Seluruh pengalaman kita menyangkut dunia luar
maupun dalam harus melalui ego agar disadari. Ego tidaklah mencakup
seluruh bidang kesadaran, ego hanyalah ‘titik referensi’ bagi ruang
tersebut. Jadi, ego merupakan bagian dari kepribadian dan bukan seluruh
kepribadian.
Menurut Jung, manusia dilahirkan dengan membawa ketotalan (wholeness),
atau dengan membawa potensi untuk menjadi total, dan tujuan akhir dari
hidup setiap manusia adalah untuk mencapai kondisi optimal dari
ketotalan:
Personality is the supreme realization of the innate idiosyncrasy of a
living being, it is an act of high courage flung in the face of live,
the absolute affirmation of all that constitutes the individual, the
most successful adaptation to the universal conditions of existence
coupled with the greatest possible freedom for self-determination. [8]
Jung mendefinisikan bahwa di dalam ruang ketaksadaran itu sendiri
terdapat dua jenis ketaksadaran, pertama ketaksadaran pribadi (personal
unconscious), dan kedua adalah ketaksadaran kolektif (collective
unconscious).
Pengalaman-pengalaman yang ditekan (suppressed) atau berusaha dilupakan
akan mengendap di personal unconscious. Di dalam personal unconscious,
segala apa yang diendapkan tadi saling berinteraksi membentuk ide-ide
baru, grup dari beberapa ide bisa meng-cluster bersama membentuk apa
yang oleh Jung disebut kompleks (complex). Secara umum kompleks ini
bersifat unconscious walaupun elemen-elemennya dapat menjadi conscious
sewaktu-waktu.
Adapun collective unconscious merupakan konsepsi yang kontroversial. Ini
merupakan cetak biru yang diwariskan bukan saja secara fisik (genetik)
tapi juga secara psikis.
The collective unconscious is composed of primordial images
(thought-forms or memory traces from our ancestral past) not only our
human past but also our pre-human, animal ancestry. [8]
Apa yang diwariskan bukan berupa memori-memori atau ide-ide spesifik,
tapi lebih ke prediposisi atau potensial-potensial dari ide-ide
tertentu. Collective unconscious mengandung hampir sejumlah tak terbatas
citra-citra (images), atau bentuk-bentuk pemikiran. Isi dari collective
unconscious ini disebut Jung sebagai arketipe-arketipe (archetypes).
Jung mengidentifikasi dan mendeskripsikan banyak arketipe, misalkan: ide
kelahiran, ide kematian, ide kepahlawanan, ide iblis, ide Tuhan, ide
orang bijak, ide binatang, dan sebagainya. Di antara banyak arketipe,
yang terpenting dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku adalah
persona, anima dan animus (syzygy), shadow, dan self.
Kondisi fisik seseorang yang tidak sesuai dengan harapan syahwatnya
sering mempengaruhi watak dan tingkah lakunya, sehingga membentuk
kompleks baru yang secara bawah sadar men-drive ego-nya semakin menjauhi
self. Psikoanalisa Freud banyak menganalisis dampak psikis dari
persoalan ini. Bentuk fisik diturunkan secara genetik dan problem psikis
yang sama bisa terulang kembali, dan seterusnya. Tampak terjadi
interaksi dan konflik antara struktur internal yang masih gelap dalam
psikologi dengan faktor eksternal yang terukur, perwatakan dan tingkah
laku manusia yang terlihat lebih mencerminkan sisa-sisa perang di
interface psikis atau di ego. Secara psikologis, minimal ada tiga faktor
yang berinteraksi yang produknya tampak di aspek psikis, pertama faktor
yang terkait fisik, kedua kondisi atau warna lingkungan eksternal, dan
ketiga faktor internal. Meski dampak psikisnya terukur, oknum dari aspek
psikis ini tampak lebih terletak di personal unconsious dan di batas
antara sadar dan tak sadar.
Sebagai catatan, menurut Jung terdapat dua aspek penting kepribadian
yang bekerja di level sadar (consiousness), attitudes dan functions.
Attitudes, atau orientasi, secara umum terbagi dua, yaitu ekstraversi
(extaversion) dan introversi (introversion). Orang yang bertipe
ekstravert lebih dipengaruhi oleh dunia objektif, dunia di luar dirinya.
Orientasinya tertuju ke luar, ditentukan oleh lingkungannya, baik
lingkungan sosial maupun non-sosial. Sebaliknya, orang introvert lebih
dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia di dalam dirinya sendiri.
Orientasinya ditentukan oleh faktor-faktor subjektif. Menurut Jung,
antara ekstraversi dan introversi terdapat hubungan yang saling
mengimbangi (kompensatoris). Tentang functions (”fungsi jiwa”), Jung
membagi empat, yaitu: thinking, feeling, sensing, dan intuiting.
Jika aspek genetik fisik itu diwariskan, apakah aspek psikis juga
diwariskan? Apakah aspek psikis seseorang beresonansi atau mempengaruhi
struktur genetik sehingga terwariskan? Secara fenomenologis karakter dan
perwatakan seseorang bisa diprediksi dari bentuk fisiknya. Dalam
lingkup metafisika Timur, misalnya dalam konsepsi I Ching (Kitab
Perubahan) Taoisme dan Hindu, kepribadian seseorang bukan hanya
berinteraksi dengan bentuk fisiknya tetapi juga berhubungan dengan ruang
dan waktu tempat ia dilahirkan. Sekali lagi, yang menjadi kuncinya
adalah pengetahuan tentang struktur internal.
Gelapnya pengetahuan manusia tentang struktur internal dan lemahnya
metode ilmiah untuk melakukan pemetaan aspek ini memunculkan berbagai
madzhab psikologi kepribadian. Freud dan Jung menempatkan faktor
internal ini sebagai ‘lautan’ ketaksadaran. Freud membuat hipotesis
tentang id, dan ego lebih merupakan alat id untuk menyalurkan
hasrat-hasrat internal yang tak jelas bentuk dan sumbernya, ego juga
mengambil nilai-nilai eksternal untuk membangun superego agar
kepribadian totalnya bisa ’survive’ tanpa konflik. Meski gelap bagi
Freud, tetapi ia sangat melihat betapa besarnya pengaruh dari faktor
internal ini.
Jung berani untuk melakukan pemetaan faktor internal ini dengan
mengajukan gagasan kontroversial collective unconscious. Dengan data
fenomenologis yang lebih ‘terbuka’, Jung membangun hipotesis ini dengan
mencoba menyulam data-data produk saintifik dengan aspek-aspek
metafisik. Maka seperti halnya Freud, tentang naluri-naluri (insting)
hewani, arketipe shadow-nya Jung sangat mencerminkan masuknya gagasan
evolusi Darwin dan informasi-informasi ilmiah dari sains zamannya,
terutama fisika. Arketipe Jung sepintas mirip dengan pengetahuan
recollection dari alam idea-nya Plato[3], atau ilmu tashawwur-nya Ibnu
‘Arabi (1165-1240) yang berkaitan dengan alam ‘khayal’ dari nafs. Tetapi
konstruksi Jung tidak menyentuh aspek nafs (soul) dalam arti yang
sebenarnya, selain meletakkan data-data fenomena spiritual dalam
kerangka psikologi psikis.
Dalam paradigma tashawwuf, karena subjek pendidikan Ilahi adalah si nafs
dan konstruk jasad insan hanyalah perpanjangan atau bayangan terbatas
dari nafs ini, maka kepribadian si nafs tidak boleh terberangus oleh
aspek jasadiah (tentara dzahir qalb), juga oleh aspek psikis yang
bertautan dengan tentara batin qalb. Kepribadian nafs adalah kepribadian
insan yang sebenarnya yang menjadi cermin bagi khazanah Ilahi, maka ia
harus bisa lepas dari kurungan syahwat dan hawa.
Dalam terminologi Al-Qur’an, nafs bukanlah “kertas putih” yang
diturunkan, tapi dalam dadanya telah membawa catatan amr yang mesti ia
ejawantahkan, dan catatan ini berkaitan dengan persoalan alam idea-nya
Plato atau alam khayal-nya Ibnu ‘Arabi. Yang pasti terdapat hubungan
antara pengetahuan bawaan si nafs dengan alam tempat ia menjalankan
dharma-nya. Fungsi alam syahadah adalah untuk memancing amr yang
‘tertulis’ dalam dada nafs itu keluar dan termanifestasi di tingkat
amaliah jasad, dan yang ia manifestasikan pada dasarnya ‘perkara besar’
karena merupakan Harta Terpendam Ilahi. Ini adalah amanah Ilahi yang
sesungguhnya, dan proses menjadi saksi Allah dalam arti yang haq. Dan
apa yang disebut bakat atau kemampuan seseorang secara psikologis
hanyalah gaung dari urusan spesifik yang si nafs bawa. Indra tubuh, ego
dan aspek psikisnya, juga fikiran hanyalah alat bagi si nafs untuk
menjalankan urusannya. Apa yang Jung lihat secara fenomenologis dan ia
definisikan sebagai syzygy, atau aspek anima dan animus dalam pribadi
manusia, juga berkaitan dengan konsepsi ummul-kitab dan kitabul-mubin
dari persoalan nafs dengan ‘aql-nya.
Arketipe (archetype) yang terlibat langsung dalam proses individuasi
atau realisasi diri adalah self, dimana arketipe ini dengan aksi jarak
jauhnya (fungsi transenden) memotivasi ego untuk menjadi pribadi yang
utuh, yang meliputi sisi sadar dan sisi tak sadar. Fungsi transenden
adalah fungsi kunci dalam proses individuasi dan merupakan cara khas
bagaimana arketipe self mulai mewujudkan diri. Fungsi transenden bekerja
lewat lambang-lambang, dimana lambang merupakan unsur paling pokok
dalam psikologi analitik, dan dengan cara seperti ini manusia mulai
kontak dengan ketaksadarannya (unconsciousness)[2]. Maka fenomenologi
tentang self adalah fenomenologi tentang lambang-lambang dari self.
Menurut Jung, fungsi pokok dari lambang adalah bahwa lambang
menggabungkan yang sadar dan tak sadar sebagai conjunxio oppositorum
(perpaduan unsur-unsur yang berlawanan). Lambang adalah sarana untuk
mencapai “tepi laut seberang” (pantai yang lain). Lambang menunjuk ke
sesuatu yang belum dikenal yang untuk sementara tidak dapat diungkapkan
kecuali lewat lambang. Yang dititikberatkan Jung adalah bahwa lambang
itu mengandung arah waktu, menunjuk kepada proses-proses yang masih
tersembunyi dan yang ingin menjadi tampak dan terwujud.
Lambang paling istimewa bagi self adalah apa yang dalam bahasa Sanskerta
disebut mandala. Jung meneliti lambang-lambang ini selama hampir empat
belas tahun, sebelum ia memberanikan diri menafsirkannya. Jung melakukan
penelitian-penelitian ekstensif tentang mandala yang ia temukan di
dalam semua kebudayaan, dalam agama-agama Barat dan Timur, juga pada
pasien-pasiennya, khususnya lambang-lambang mandala ini muncul pada
pasien-pasiennya yang berusia 40 tahun. Konstruk mandala merupakan
susunan konsentris dari bangun-bangun geometris, bisa berupa bangun
lingkaran-lingkaran konsentris, atau segiempat-segiempat konsentris,
atau perpaduannya.
Banyak kebudayaan arkais menunjukkan struktur mandala dalam
tarian-tariannya, upacara-upacara, bangunan-bangunan rumah, dan
tempat-tempat religiusnya. Mandala yang paling indah dan paling sempurna
terdapat pada kebudayaan Timur, khususnya dalam Buddhisme Tibet, juga
pada candi-candi Hindu dan Buddha. Pada umumnya pada pusat mandala
terdapat tokoh-tokoh agama tertentu, seperti Siwa, Buddha, dan Kristus.
Jung berpendapat bahwa mandala mempunyai arti ‘metafisis’ dan merupakan
simbol transformasi atau jendela menuju Keabadian. Karena mandala
melambangkan self, maka self, kata Jung, merupakan Imago Dei (Citra
Tuhan).
Dalam dunia tashawwuf, konstruk mandala telah lazim dikenal oleh para
Shufi, bentuknya bisa berupa tujuh lingkaran konsentris, empat lingkaran
konsentris atau empat bujur sangkar konsentris, atau bisa lebih rumit
dari itu. Tujuh lingkaran melambangkan tujuh langit jiwa dengan titik
pusatnya melambangkan Ruh al-Quds. Empat lingkaran konsentris
melambangkan tingkatan jiwa jasmaniah, jiwa ruhaniah, jiwa rahmaniah,
dan jiwa rabbaniah yang duduk di lantai keempat[12]. Makna Rabbaniyah
identik dengan makna Brahmana pada agama Hindu yang telah mengalami
pergeseran makna dari kasta (maqamat) kejiwaan menjadi kasta sosial.
Dalam dunia suluk, hanya tingkat Rabbaniyah yang bisa bertemu Ruh
al-Quds tanpa termusnahkan oleh kuat cahayanya [4].
Intinya, pusat mandala merupakan kutub alam semesta zamannya,
seseorang yang telah diperkuat dengan Ruh al-Quds di tingkat Rabbani dan
memegang jabatan Quthb. Dan seperti telah kita bahas bahwa manusia yang
memenuhi struktur An-Nuur [24]: 35, artinya yang telah diperkuat dengan
Ruh al-Quds, merupakan Citra Ar-Rahman.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa self yang didefinisikan Jung
tak lain adalah nafs (jiwa, soul), ini berarti tidak semua self
menyandang pangkat Imago Dei, kecuali self yang sudah duduk di pusat
mandala. Dan dengan terputusnya data agama, konsepsi Jung tentang self
berhenti di Imago Dei.
Konsepsi transformasi kejiwaan dalam khazanah Islam sebagai agama
penyempurna, bisa membantu membuka kembali arah dari persoalan ini dalam
khazanah batin agama-agama pra-Islam. Bagi Jung, gagasan individuasi
bisa membantu memberi arah pada terapi pasien-pasiennya, tapi
simbol-simbol mandala yang dilihat dalam ruang kesadaran (consious)
pasien sebagai isyarat dari nafs atau self di ruang bawah sadar
(unconscious), menjanjikan suatu kesadaran dan kebahagiaan yang jauh
lebih tinggi dari apa yang Jung dan si pasien sadari. Metode terapi Jung
tidak memadai untuk memenuhi apa yang diseru dan dituntut oleh self,
juga tidak memiliki perangkat ukur untuk melihat tahapan-tahapan
pengorbitan ego menuju self (nafs). Tetapi Jung berpendapat benar bahwa
kepribadian yang utuh terletak di self atau jiwa (nafs), dan bukan di
ego. Dan pengenalan atas nafs adalah awal pengenalan kepada Tuhan.
4. Status Kecerdasan Spiritual SQ
Seperti halnya dalam kasus psikologi analitik, SQ merupakan salah satu
produk yang mencerminkan samarnya pengetahuan manusia Barat tentang
aspek internal manusia yang terfokus di self atau nafs, dan SQ sendiri
tampak dipengaruhi kuat konstruksi-konstruksi C.G.Jung yang dibangun
secara transpersonal. Seperti telah dibahas tadi bahwa urusan yang
dibawa setiap nafs berbeda satu dengan lainnya, maka potensi-potensi
yang Sang Pencipta berikan kepada tiap-tiap manusia yang meliputi
seluruh aspek lahir dan batinnya tidak pernah ada yang sama. Ada kaitan
erat memang antara bakat fisik manusia dengan amr jiwanya, karena memang
si jasad tak lain merupakan perpanjangan jiwanya, maka urusan si jiwa
akan memanjang ke jasad.
“Manusia itu dimudahkan atas suatu yang untuk itu ia dicipta.” (Rasulullah SAW)
“Carilah pekerjaan yang kamu tidak bekerja.” (Confucius)
Manusia dimudahkan dalam jalannya masing-masing dan tidak diberi beban
melainkan apa yang mampu ia pikul, tapi ego manusia cenderung memilih
jalan yang justru ia menjadi bekerja keras di situ, tidak berjalan
dengan energi minimalnya. Bukankah alam semesta itu hadir/wujud dalam
energi minimalnya? Dharma atau misi hidup setiap manusia itu bekerja
dalam energi minimalnya, dimudahkan untuk apa ia dicipta. Gagasan Lao
Tzu tentang jalan Tao adalah bicara tentang ini; dan alam semesta hidup
mengalir mengikuti sungai Tao, ini adalah tasbih, dan setiap insan
diwajibkan bertasbih. Hal yang sama demikian kentara dalam ajaran Zen
(ordo Buddha) dan Baghavad Gita (Veda Hindu) misalnya, demikian pula apa
yang diseru dalam setiap agama yang lain termasuk Islam.
Kalimah aslama konstruk dasar dari Al-Islam bermakna berserah-diri
mengikuti kehendak-Nya; kalimah sabaha konstruk dasar dari tasbih
bermakna mengalirkan diri atau menghanyutkan diri dalam sungai
Kuasa-Nya. Jika manusia mengerjakan dharma-nya, maka segala sesuatu yang
menyangkut urusannya akan dimudahkan di tangannya, dimana itu sulit
bagi selain dirinya. Seperti sabda Rasulullah saw.:
“Bila urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.
Swadharma setiap insan itu terkait dengan shirathal-mustaqiim-nya
masing-masing. Rabb yang dicari berada di atas jalan itu (Hud [11]: 56),
dan yang menjadi kuncinya ada dalam diri nafs-nya sendiri. Setiap
manusia akan menemukan Tuhannya lewat pintu jiwanya masing-masing,
karena di dalam nafs terdapat Kuasa-Nya, Qudrah-Nya; man ‘arafa nafsahu
fa qad ‘arafa rabbahu. Jika manusia bertemu dharma-nya atau
kodrat-dirinya, maka kehidupannya dimudahkan. Ini adalah aqabah, jalan
mendaki lagi sukar, karena ia harus membebaskan diri dari perbudakan
syahwat dan hawa nafsunya. Jika ego manusia tunduk kepada kehendak Allah
maka terbuka pintu pengenalan ke nafs (self) nya, dan jika Ruh al-Quds
telah Allah nyalakan di dalam qalb si nafs maka terang apinya akan
menampakkan amr si nafs yang tertulis dalam dadanya.
Apa yang terdeteksi secara fisik berupa gelombang otak, cahaya aura,
atau akumulasi energi di cakra-cakra tubuh, berasal dari cahaya jasadi
dan psikis, belum sampai menyentuh ke cahaya jiwa (nafs). Fisik manusia
dibangun dari material alam mulk, nafs berasal dari alam malakut, dan
aspek psikis manusia berasal dari entitas barzakh antara kedua alam
tadi. Cahaya dan energi psikis di atas merupakan permukaan dari esensi
cahaya nafs. Karena itu kesehatan yang bersifat fisik dan psikis semata
akan cukup tercermin di aura, cakra-cakra dan gelombang-gelombang otak
tertentu. Penyakit fisik datang dari pikiran yang tidak jernih. Dalam
ajaran Buddha, pikiran tidak akan jernih jika ada kekhawatiran, dan
kekhawatiran itu datang dari hawa nafsu dan syahwat. Pikiran itu terkait
mind (fu’ad), dan Plato mengatakan bahwa hal pertama yang harus
dilakukan dalam terapi medis adalah memperbaiki mind-nya dan cara
berpikirnya lebih dahulu.
Pikiran yang tak jernih bisa mematikan qalb, dan jika qalb mati berarti
qalb kehilangan Cahaya Jabarut-nya dan ini berdampak lumpuhnya si nafs
dalam diri manusia. Jika nafs dalam diri manusia lumpuh maka lumpuh pula
kekuatan amr dalam dirinya, sehingga aksi fungsi transenden ke ruang
kesadaran tidak terjadi. Orang yang sehat qalb-nya dari dosa-dosa dan
penyakit hati akan sehat pula nafs-nya, dan jika si nafs sehat ia akan
membimbing raga untuk menemukan obat bagi penyakit fisiknya, dan ini
perlu waktu:
“Barang siapa sehat qalb-nya maka akan sehat jasmaninya” (Rasulullah SAW).
Arah dari setiap agama itu pada hakikatnya adalah demi transformasi
aspek batin. Demikian pula dengan dharma insan yang bermakna mengerjakan
urusan-urusan dunia yang cocok dengan jiwanya agar tak terjadi konflik
batin, dan kebersihan batin yang jernih tanpa distorsi nafsu itu akan
sangat berguna dalam melihat kebenaran Ilahiah dan sekaligus membuka
jalan. Berdharma artinya menyelamatkan qalb: jika seseorang telah
bekerja pada dharma-nya (pada orbitnya) maka di situ tidak ada
pertentangan antara mana urusan dunia dan mana urusan akhirat; semua
menjadi bermakna akhirat dan menyenangkan bathinnya. Orang yang
menjalankan dharma-nya, kebahagiaannya tidak bisa dinilai dari luar
dirinya, apalagi diukur oleh kacamata syahwat dan pikiran yang telah
terbius oleh waham kelezatan duniawi. Orang bisa memandang bahwa ia
tengah bekerja keras dan menderita, padahal bagi dirinya merupakan
berkah dan kebahagiaan, bagi ia penderitaan hidup itu pada hakikatnya
tidak ada.
Dengan mengerjakan misi hidupnya atau qudrah dirinya (dharma yoga) maka
qalb orang itu terselamatkan dari penyakit fikiran, dan jika qalb
selamat (qalbun salim) ia akan ‘melihat’ Tuhannya. Kata Al-Ghazali,
satu-satunya perangkat dalam diri manusia untuk ber-ma’rifatullah adalah
qalb-nya. Qalb adalah rasa si jiwa (nafs) dan bukan rasa psikis (emosi)
yang dapat tersentuh oleh observasi psikologis, ia adalah makhluk
ruhani. Lebih jauh Al-Ghazali berkata bahwa jika seseorang tidak
mengenal qalb-nya maka tidak akan mengenal nafs-nya; jika nafs tidak
dikenal maka dharma tak dikenal; jika dharma tak dijalankan maka
terputus jalan untuk menuju Sang Pencipta; dan jika ia terputus jalan
maka kesadarannya tidak akan melampaui alam-alam, sehingga
kebijakan-kebijakan Ilahi dalam kehidupan semesta tak terpahami (oleh
akal bawahnya). Maka dikatakan Allah SWT bahwa hanya Ulul-Albaab (orang
yang memiliki akal jiwa/lubb) yang bisa memahami ayat-ayat-Nya, dan lubb
itu tidak menyala jika cahaya qalb padam.
Inteligensia atau kecerdasan fisik kekuatannya hanya menyentuh sejauh
alam fisik. Jika kita mencoba menggunakan kecerdasan fisik untuk
menggeneralisasi atau menginduksi imajinasi ke alam malakut, maka hal
ini seperti nasib elemen-elemen vektor yang jika dioperasikan
bagaimanapun dengan hukum-hukum ruang vektor, tidak akan melompat keluar
dari ruang vektornya. Akibatnya “pantai yang lain” selalu tak
diketemukan. Kecerdasan ‘bawah’ hanyalah bayangan dari kecerdasan jiwa
(kecerdasan ‘atas’) yang mestinya bisa dilahirkan dengan jalan mujahadah
dalam tazkiyyatun-nafs.
Lantas apa sebenarnya kecerdasan itu? Apa makna dari IQ, EQ, dan
sekarang SQ? Dan jika melihat struktur dasar manusia yang terdiri dari
jasad, jiwa, dan Ruh al-Quds, apakah seseorang bisa langsung
mengklasifikasi adanya kecerdasan jasadi, kecerdasan jiwa, dan
kecerdasan Ruh al-Quds?
Menurut Ibnu ‘Arabi dan beberapa shufi yang lainnya, bahwa alam semesta
itu “mengenal” Allah SWT, alam memahami status dirinya di depan Tuhan.
Maka kita melihat bahwa apa pun yang mewujud di alam syahadah ini
memandang kepada Sang Pewujud, ini sebuah “kesadaran” dan sebuah
“kecerdasan”.
Sebenarnya yang membuat materi itu memiliki kecerdasan karena di dalam
dirinya hadir Kuasa Tuhan, sentuhan ‘jari’-Nya terhadap ‘ain segala
sesuatu itulah yang membuat segala sesuatu menjadi memiliki wujud, baik
di alam mulk ini, terlebih wujud-wujud yang eksis di alam malakut. Maka
semua yang Dia wujudkan akan memiliki kecerdasan karena di dalam dirinya
ada al-haq, bukankah hakikat segala sesuatu itu al-haq? Secara fisis
saja sebuah batu itu mati tampaknya, padahal jika diteropong secara sub
atomik maka tampak penuh dinamika, penuh kehidupan, masing-masing
partikel bergerak pada orbitnya, memiliki energi, mereka hidup dalam
dharma-nya masing-masing, mereka melihat kepada Penciptanya dan mereka
mengerjakan itu demi ridha-Nya. Secara fisika, hanya dalam suhu nol
mutlak (nol derajat Kelvin = -273 C) maka semua aktivitas terhenti, tapi
adakah dimensi di situ? Otak kita adalah materi yang secara intrinsik
memiliki “kecerdasan”, tapi pada orang yang mati (hilang ruh dan
nafs-nya) apakah otaknya memiliki kecerdasan insani? Seperti halnya pada
binatang, yang membuat menjadi memiliki kecerdasan karena adanya ruh
hewani, tapi apakah seekor ternak memiliki kecerdasan insani yang kita
maksud?
Kecerdasan jasadiah sendiri pada dasarnya berasal dari cahaya nafs dalam
tubuh jasad yang bertemu dengan aspek ruh yang menghidupkan jasad.
Pertemuan nafs yang hidup dengan potensi kecerdasan lubb-nya dengan
potensi kecerdasan lubb-nya dengan tubuh yang memiliki ruh, selain
melahirkan “akal bawah” juga melahirkan sejumlah entitas yang lain
dengan modus kecerdasan yang berbeda-beda.
Kecerdasan jiwa berkait erat dengan akal-jiwa (lubb) sebagai kecerdasan
‘atas’ atau akal ‘atas’. Apa yang terukur dengan IQ tidaklah berkaitan
dengan akal ini melainkan kecerdasan ‘bawah’ belaka. Artinya jika jiwa
atau nafs seseorang lumpuh karena dosa-dosa menutup qalb, maka ia masih
memiliki akal ‘bawah’. Adapun jika jiwa ‘hidup’ dan akalnya (lubb) sudah
tumbuh, maka dikatakan orang tersebut hidup dengan ‘dua akal’,
sebagaimana psyche yang diberi lambang kupu-kupu bersayap dua, atau
makna dua sayap pada gambaran malaikat. Ilustrasi tentang dua akal ini
juga bisa dikenali dalam “Suara Sayap Jibril”, Suhrawardi Al-Maqtul
[10].
Adapun makna kecerdasan Ruh al-Quds adalah di luar jangkauan makhluk
karena nisbatnya ke Martabat Ilahi. Antara Ruh al-Quds dengan ruh yang
menghidupkan jasad insan, perumpamaannya seperti perbandingan antara api
dengan terangnya (nyala api), atau ruh yang menghidupkan jasad bagaikan
hanya hembusan nafas Ruh al-Quds. Nabi Isa a.s. adalah seorang yang di
dalam tubuhnya selain memiliki nafs juga memiliki Ruh al-Quds, maka
ketika ia membuat bentuk burung dari tanah liat dengan tangannya,
kemudian ia tiupkan melalui mulutnya nafas dari Ruh al-Quds, maka
jadilah burung itu hidup dan terbang. Hakikat dari spiritus ini bersifat
metafisik dan tak terukur, sementara dayanya tampil di dunia fenomena
dalam bentuk-bentuk yang tak terbatas.
Status spirit (ruh) yang samar dalam struktur manusia membawa dampak
penyempitan bahkan penyimpangan makna dari arti yang sesungguhnya. Ruh
Al-Quds merupakan oknum rahasia (sirr) Ilahi dalam diri manusia, yang
tinggal di inti jiwa (nafs, soul), al-insaanu sirriy wa Anaa sirruhu
(Al-Hadits). Daya atau nafas dari Ruh Al-Quds yang berdampak
menghidupkan jasad (body) manusia kerap menimbulkan kebingungan dalam
mengidentifikasi yang mana jiwa dan yang mana ruh. Istilah nyawa dalam
literal masyarakat tidak lain adalah nafas dari sukma (ruh), dan kata
arwah (ruh-ruh) sering secara keliru dimaknai sebagai nafs (jiwa) yang
akan diadili di alam Barzakh. Ruh Al-Quds adalah ruh al-arwaah, yang
nafasnya merupakan al-kimiya (alkemis) yang menghidupkan jasad insan,
suatu entitas yang pada prinsipnya sama dengan entitas yang menghidupkan
tubuh seekor kambing atau burung tanah Isa Al-Masih a.s. Sementara
istilah jiwa sering menyempit maknanya menjadi sekadar gejala-gejala
psikis.
Konsep Ruh Al-Quds dalam Al-Quran identik dengan konsep ‘Holy Spirit
(Holy Ghost)‘ dalam Bible, sebagai entitas yang hadir dari Alam Jabarut,
dan ini sering dipertukarkan dengan entitas yang hadir dari alam
malakut tertinggi yaitu Jibril a.s. sebagai Ruh Al-Amin (Asy-Syu’araa
[26]: 193) yang membawa anugrah-anugrah tertinggi bagi manusia.
Makna api sebagai pelita dalam An-Nuur [24]: 35 sama dengan makna
kehadiran lidah-lidah api di Hari Pentakosta dalam Perjanjian Baru
(Kisah Para Rasul 2: 1-13) yang membaptis dua-belas sahabat Isa Al-Masih
a.s. sebagai para utusan bagi kenabiannya, sesuai dengan yang beliau
alaihis-salam janjikan (Yohanes 14: 15-17). Apa yang dinisbatkan kepada
martabat insan adalah aspek nafs dan jasadnya, adapun sekali lagi, aspek
Ar-Ruh bernisbat ke martabat Ilahi. Trilogi Tuhan, Ruh-Al-Quds, dan
an-nafs, menggambarkan turunnya (tanazzul) urusan Ilahi atas
manusia-manusia terpilih, dimana urusan (amr dharma) tersebut oleh Ruh
Al-Quds dibawa dan diletakkan di inti jiwa, bukan di aspek psikis
terlebih di pikiran jasadiyyah.
Penggunaan istilah spiritual pada konstruksi SQ (Spiritual Quotient)
sebagai suatu ratio atau ukuran yang brain-based tampak menjadi
paradoks, karena entitas spiritual yang bersifat immaterial dan tak
terbatas diukur oleh kecerdasan yang bersifat material (neurological
basis) dan terbatas.
Konsepsi self Jung berbeda dengan konsepsi self SQ. Jung meletakan self
sebagai sub ordinat manusia yang harus direalisasi, merupakan arketipe
terpenting di kedalaman unconsiousness yang harus disadari agar
kepribadian total (psychê) sebagai “kepribadian target” menjadi
terwujud. Adapun SQ meletakan self sebagai psychê yang hadir sejak awal
dan terus-menerus melakukan penyempurnaan diri. SQ melihat adanya
paradoks dalam konsep individuasi Jung:
Jung after thought the Self only become accessible to people after the
mid-life crisis. At that point, in conjunction with his ‘transcedent
function’, the self archetype synthesized opposites in the personality,
such as thinking and feeling. The Self archetype and the transcendent
function were the symbol and process of self-transformation. But Jung
thought self-transformation most appropriate to later life, whereas
associate it with spiritual intelligence and think it potentially active
throughout life. In terms very similar to what I have been saying about
SQ, Jung felt the Self archetype could not be dissociated from the
psychologically integrating role played by the pursuit of meaning and
purpose in life.
Konsep self dan proses individuasi dalam psikologi analitik Jung secara
umum sejalan dengan proses realisasi-nafs (jiwa) dalam terminologi
quraniyyah. Adalah wajar terjadi kesesuaian karena Jung melakukan studi
14 tahun atas simbol mandala berdasarkan literatur-literatur dimensi
batin banyak agama, dimana faktanya Jung menemukan bahwa simbol-simbol
mandala ini sering muncul pada pasien-pasien yang mengalami konflik
batin (konflik jati-diri) pada usia 40-tahunan.
Al-Quran menyinggung ihwal pertumbuhan pribadi insan hingga baligh-nya
dan ihwal usia 40-tahunan, dimana manusia sudah harus melakukan proses
taubat (Al-Ahqaaf [46]: 15). Dengan proses taubat maka fitrah insani
dalam arti yang haqiqi akan terbuka (Ar-Ruum [30]: 30-31), dimana fitrah
ini terkait dengan persoalan swabhawa-swadharma dan qadha-qadar, dan
ini terletak di nafs manusia yang harus direalisasi. Jika manusia
melupakan Allah SWT, atau menomorduakan urusan Tuhannya, maka Dia akan
membuat si manusia tersebut lupa akan nafsnya (Al-Hasyr [59]: 18-19),
dan lumpuhlah si nafs itu dari berkata-kata (nathiqah) ihwal fitrah
dirinya padahal kesaksian tentang perkara “misi hidup” ini telah diambil
si nafs sebelum ia dimasukkan ke rahim ibu (Al-’Araaf [7]: 172).
Ibnu ‘Arabi rahimahullah menyinggung ihwal usia 40 tahun ini ketika
beliau menafsirkan makna dari “sapi betina” yang tidak terlalu tua dan
tidak terlalu muda, dan yang berwarna kuning tua (Al-Baqarah [2]:
68-71):
Kuning tua adalah warna insan (Bani Israil, pada waktu itu). Yang
dimaksud dengan tidak terlalu tua artinya tidak melewati “umur kesiapan”
(istidaad), karena si nafs telah terpadati oleh waham-waham,
kebiasaan-kebiasaan, dan keyakinan-keyakinan lama yang melekat kuat,
sebagaimana dikatakan bahwa seorang shufi di atas 40 tahun telah
“dingin”. Juga tidak terlalu muda, artinya masih belum matang dan belum
memiliki “kesiapan”, masih sulit untuk mendapatkan didikan yang ada
dalam riyadhah karena tabiat keanakan masih melekat kuat dalam
dirinya.[11]
Seperti telah dibahas, bahwa Jung tidak berani melakukan identifikasi
psikologis lebih lanjut atas selfnya kecuali menyematkan pangkat
paripurna terhadap self sebagai Imago Dei. Jung kehilangan elemen
penghubung yang mengkaitkan antara self sebagai makhluk dengan Dei
(Tuhan) sebagai pencipta self. Meskipun Jung menunjuk figur Kristus dan
Buddha sebagai contoh dari Imago Dei, ia tidak menemukan konsepsi yang
menghubungkan status holy Spirit dengan self dan Tuhan. Di titik ini
proses-proses rekonstruksi tentang “hakikat manusia” menjadi terhenti
ketika data-data agama yang digunakannya dalam proses analisis-sintesis,
terbatas. Jika struktur insan sebagai Cahaya Ilahi, atau “struktur
status” yang menampakkan rahasia Ilahi tidak dipahami, maka persoalan
hubungan spirit-self dan psikis-self menjadi tidak jelas. Samarnya
persoalan ini pada konstruksi SQ menimbulkan paradoks seperti kalimat
“spiritual intelligence is the soul’s intelligence” sementara
pengukuran-pengukuran dilakukan di tingkat psikis bukan di fundamennya.
Zohar dan Marshall menggunakan mandala teratai atau lotus sebagai model
bagi self, di mana dalam filsafat Timur lotus merupakan lambang
integrasi, simbol tertinggi dari ketotalan (wholeness). Mereka mengklaim
bahwa esensi dari SQ yang mereka konstruk merupakan kecerdasan
tertinggi (the ultimate intelligence) yang merepresentasikan suatu
dinamika pencapaian ketotalan self. Konsepsi SQ membagi self kedalam
tiga bagian (tiga lapis) mandala lotus :
(1) Lapis terluar dari self (outer petals) mereka identifikasi
berdasarkan pemahaman barat modern, yaitu dalam persepektif ego sadar
(conscious ego). Cara pandang ego yang bersifat rasional dikaitkan
dengan tract-tract neural otak dan program-program yang bersifat serial.
Pada prinsipnya, lapis terluar ini mereka identifikasi dengan attitudes
dan functions psikologi analitik Jung, dan enam tipe kepribadian dari
psikolog Amerika J.L.Holland.
(2) Lapis menengah lotus (lapis transisi) merupakan associative
unconscious yang dihubungkan dengan konsepsi Jung tentang personal dan
collective unconscious. Mereka menghubungkan aspek ini dengan geometri
paralel dari jaringan neural otak, suatu proses pemahaman yang tidak
berfikir secara rasional. Adapun faktor penghubung antara lapis terluar
self (conscious ego) dengan associative middle (unconsciousness) adalah
motivasi. Ego tidak bisa memperbaiki dan mentransformasi dirinya
sendiri, ego merupakan sumber daya bagi lapis terdalam ketaksadaran.
Bagi mereka, proses transformasi ego terjadi melalui energi psikis,
dimana energi ini terkait dengan konsentrasi energi di cakra-cakra tubuh
dalam konsepsi Yoga Kundalini Hindu. Energi psikis ini merespons
motivasi-motivasi personal. Maka motif-motif menjadi elemen penting
dalam membangkitkan kecerdasan spiritual SQ. Cakra-cakra energi ini juga
menghubungkan lapisan unconscious dengan pusat (centre) terdalam dari
self. Lapis menengah ini merupakan kolam motif-motif, energi-energi,
citra-citra, asosiasi-asosiasi, dan arketipe-arketipe yang mempengaruhi
pola pikir, kepribadian, dan tingkah laku, dari arah “dalam”. Bagi
mereka , lingkup ego berkaitan dengan IQ dan bagaimana cara kita
mengidentifikasi sesuatu. Adapun lingkup associative middle berkaitan
dengan EQ dan bagaimana cara kita merasakan sesuatu.
(3) Bagian pusat dari lotus disebut ‘bud‘. Pusat dari self ini merupakan
fokus utama dari konstruksi SQ, karena berkaitan dengan
pengalaman-pengalaman tentang penyatuan realitas-realitas.
Pengalaman-pengalaman tersebut, menurut Zohar dan Marshall, berkaitan
dengan hadirnya osilasi simultan 40 Hz yang melintas di neural-neural
otak, dimana osilasi pada frekuensi ini berfungsi menyatukan
pikiran-pikiran, emosi-emosi, simbol-simbol, asosiasi-asosiasi, dan
persepsi-persepsi, sehingga self dalam kondisi terintegrasi. Menurut
mereka, berdasarkan seluruh tradisi-tradisi mistik Timur dan Barat,
bahwa ada aspek self yang berada diluar lingkup bentuk-bentuk, ini
disebut sebagai sumber (source), atau Tuhan. Segala apa yang manifest di
self-SQ, baik itu berwujud fisik maupun psikis yang tak disadari,
berasal dari suatu sumber yang berada di balik semua yang manifest.
Sumber ini dalam kerangka sains abad duapuluh dikaitkan dengan Quantum
Vacuum yang merupakan ground state dari energi alam semesta. Secara
fisika kuantum, self merupakan ko-sumber dari segala yang manifes di
realitas fisik.
Apa yang Zohar dan Marshall sebut sebagai kecerdasan spiritual (SQ)
adalah suatu status kecerdasan manusia ketika ketiga aspek dari self
tersebut (ego, unconsciousness, dan centre) mengalami integrasi dan
menyatu secara psikis. Bagi mereka, pengetahuan tentang pusat self
merupakan kunci untuk membangkitkan dan menggunakan SQ, sebaliknya
ketidakmengenalan ihwal pusat ini merupakan sebab utama dari ketumpulan
spiritual. Dan, proses individuasi Jung yang bernuansa spiritual
merupakan tujuan dari SQ. Energi psikis terdalam dari pusat lotus
berkaitan dengan Cakra Hindu ke-tujuh, cakra mahkota:
The Crown Chakra, located outside the body, above the head, it is often
depicted in religious paintings of the Western tradition as halo. It is
pure, luminous energy, sheer light, one light, beyond names and forms,
beyond thought and experience, beyond even concepts of “being” and
“non-being”. Represented by a thousand-petalled lotus shedding rays of
lunar light, the crown chakra realizes the pure union of the human soul
with whatever we call ‘God’.
Thought the energies of the crown chakra can create new symbols and
forms, this chakra itself is beyond all existing symbol and form. We can
experience this pure energy in spontaneous mystical experience of
Unity, and it is very commonly reported in near death experiences. Dante
describes such an experience in his Paradiso.( [9], p.158 )
Sebenarnya yang terobservasi secara fisik berupa cakra mahkota dan aura
tubuh masih terkait sirkulasi chi (Qi) tubuh yang sangat dipengaruhi dan
dikendalikan oleh jalan pikiran jasadiah. Aura masih dalam lingkup
cahaya material jasad yang teramplifikasi, karena itu wajar jika
konsentrasi energi cakra-cakra tubuh akan terintensifikasi oleh
emosi-emosi. Jadi cakra mahkota belum menyentuh cahaya jiwa (nafs) yang
sebenarnya, yang bersifat malakut. Dalam ajaran Budhisme Zen, bahwa
pusat terdalam dari lotus merupakan suatu tempat diluar kemungkinan
apapun yang bisa kita bayangkan (a place beyond all imagining).
Makna pusat spiritual dari mandala lotus Zen semakin dipersempit lagi
ketika diukur berdasarkan basis neurologi. Dalam membangun model
selfnya, Zohar & Marshall memaksakan suatu identifikasi sains atas
atribut-atribut dan entitas metafisika atau malakut.
I believe this fuller model of self can be described only by combining
the insights of modern Western psychology, those of the Eastern
philosophies, and many from twentieth century science, ( [9], p.124)
Until the late twentieth century only this kind of language desribed the
unitive energy found at the centre of the self and of the existence.
But such accounts don’t speak to the modern mind. Today such questions
demand ’scientific’ answers, brain phenomena that we can ‘weight and
measure’, experiments that we can read about.
Neurologically, that the brain’s unitive experience emanates from
synchronous 40 Hz neural ascillations that travel across the whole
brain. They provide a ‘pond’ or ‘background’ on which more excited brain
waves can ‘ripple’, to generate the rich panoply of our conscious and
unconscious mental experience. These oscillations are the ‘centre’ of
the self, the neurological source from which “I” emerge. They are the
neurological ground of our unifying, contextualizing, transforming
spiritual intelligence. It is through these oscillations that we place
our experience within a framework of meaning and value, and determine a
purpose for our lives. They are a unifying source of psychic energy
running through all our disparate mental experience ([9], p. 159)
For the physics that best describes the centre of the cosmos we must
turn to quantum field theory, the late twentieth century adaptation of
quantum physics. Quantum field theory describes all existing things as
being states or patterns of dynamic, oscillating energy. The grounds
state of all being is a still ‘ocean’ or background state of unexcited
energy called the quantum vacuum.
This vacuum is scientific version of the Buddha’s handkerchief, the One
Thing which, when tied into many knots, appears as many manifestations.
All things that exist are excitations of the quantum vacuum, and the
vacuum therefore exists as the centre within all things. Vacuum energy
both underlies and permeates the cosmos. Because we ourselves are a part
of this cosmos, vacuum energy ultimately underlies and permeates the
self. We are ‘waves’ on the ‘ocean’ of the vacuum; the vacuum is the
ultimate centre and source of the self. When the self is trully centred,
it is centred in the gorund of all being. On our lotus of the Self
diagram, the quantum vacuum is the ‘mud’ out of which the stem of the
lotus grows. ([9], p. 160).
5. Resume dan Kesimpulan
Terapi-terapi klinis dalam lingkup psikologi Barat lebih banyak bergerak
di tingkat ego, umumnya mencoba untuk menata gejala-gejala psikis di
tingkat fenomenal bukan di sumbernya. Sumber penyakit psikis merupakan
medan kontinum yang dibangun oleh dua kutub, kutub atas berpusat di ego
sadar dan kutub bawah berpusat di dasar ketaksadaran yang paling dalam.
Dua kutub ini saling menginduksi sehingga cenderung saling menguatkan
dan saling membesarkan satu sama lain. Beberapa alat psikologi modern
mencoba merecall sumber-sumber penyakit psikis dari kedalaman
ketaksadaran. Freud dan Jung menyadari dan “melihat” bahwa kekuatan
“penghancur” terbesar justru berasal dari sumber-sumber tertentu di
kedalaman ketaksadaran.
Samarnya pengetahuan tentang struktur manusia di peradaban Barat modern
mengakibatkan para psikolog Barat hingga dewasa ini belum mampu
merumuskan konsepsi terapi di tingkat bawah sadar. Apa yang menjadi
sumber penyakit di kedalaman ketaksadaran merupakan konstruksi dari
produk interaksi antara kontaminan-kontaminan yang ditenggelamkan ego ke
lautan ketaksadaran dengan daya dari memori psikis tertentu yang dibawa
jiwa (nafs). Jung mengaitkan memori psikis ini terutama dengan arketipe
shadow, meskipun Freud tidak setuju dengan gagasan Jung tentang
collective unconscious tapi ia setuju dengan ide racial memory.
Konsep fitrah dalam Al-Qur’an bukan berarti setiap bayi seperti kertas
putih yang sama, mereka memang tidak mewarisi dosa tetapi daya-daya
psikis orang tuanya secara potensial di bawa si bayi. Kondisi psikis
kedua orang tuanya saat terjadi pembuahan hingga pertumbuhan janin di
rahim si ibu diwariskan di lapis psikis si bayi. Struktur genetik
(material) akan beresonansi dengan fluktuasi psikis dan pikiran (non
material), elemen penghubung sisi material dengan non material dalam hal
ini adalah entitas chi dan cahaya material. Sebagai catatan, cahaya
material (terkait aura tubuh) merupakan elemen kelima (the fifth elemen)
produk penyatuan keempat elemen dasar (tanah, api, air, udara) oleh
nafas ruh. Dan apa yang disebut fitrah itu sendiri, seperti telah kita
bahas, berkaitan dengan swabhawa si nafs.
Aspek olah jiwa (suluk) atau dimensi batin dari agama-agama sebenarnya
untuk tujuan transformasi dari “arah dalam,” mengubah sayyi’ah-sayyi’ah
menjadi hasanah-hasanah (Al-Furqaan [25]: 70-71). Apa yang disebut
dengan kecerdasan, di tingkat apapun merupakan produk dari
transformasi-transformasi diri, terutama transformasi jiwa. Dalam konsep
Al-Qur’an, kecerdasan seseorang dalam suatu lingkup dharma berbanding
lurus dengan tingkat kesucian jiwa yang diperoleh lewat jalan taubat
(Al-Mu’min [40]: 13). Jika jiwa tumbuh maka akal jiwa (lubb) akan tumbuh
juga, sehingga hiduplah akal luar dan akal dalamnya, sejalan dengan apa
yang dikatakan Rasulullah SAW:
“Jika seorang manusia berbuat dosa maka akan hilanglah sebagian akalnya dan tak kembali lagi untuk selama-lamanya” (Al-Hadits)
Menurut Zohar dan Marshall, adalah tidak mungkin untuk dapat memahami
secara dalam ihwal kecerdasan spiritual (SQ) tanpa meninjau isu-isu
seperti: Where do we come from? What is our origin in time? How big is
the story of which we are a part? What are we rooted in? How long do we
last? Where are the ultimate boundaries of our human existence? What is
the source of our intelligence? ([9], p. 115). Mereka membangun model
self (versi SQ) yang diharapkan bisa paralel dengan isu-isu di atas.
Kecerobohan terjadi ketika mereka mengidentifikasi entitas pusat
(centre) dari self dengan quantum vacuum.
Keadaan vakum merupakan ‘lautan’ energi dasar yang berkaitan dengan
manisfestasi dan kristalisasi wujud-wujud di alam syahadah (mulk)
sebagai realitas-realitas eksternal, boleh dikatakan sebagai hakikat
dari segala apa yang manifes secara fisik (alam semesta fisik).
Sementara hakikat dari jiwa (nafs atau self dalam arti yang sebenarnya)
merupakan “quantum vacuum” yang terletak di alam malakut, bukan di alam
mulk. Simbol lotus dalam terminologi Zen merupakan sumber dari segala
yang manifes, mencakup seluruh ‘langit’ dan ‘bumi’.
Dalam konsepsi agama, yang disebut dengan semesta alam mencakup jabarut,
malakut, dan mulk. Bunga lotus melambangkan manifestasi malakut dan
mulk sebagai aspek yang “tampak”, sementara aspek “tak tampak”nya berupa
air yang mengalir di dalam tubuh lotus, melambangkan alam jabarut yang
bernisbat ke Martabat Ilahi. Pusat dari lotus merupakan “aspek langit”
atau aspek malakut yang memang berhadap-hadapan dan dipasangkan dengan
“aspek bumi” atau aspek fisik. Dan yang disebut dengan Tao oleh Lao Tzu
dalam Kitab Tao Tee Ching merupakan aliran Hukum Ilahi yang menganak
sungai alam semesta dan sekaligus mengsinkronkan antara hukum-hukum yang
bekerja di alam malakut dengan hukum-hukum yang bekerja di alam fisik.
Dan tampaklah bahwa segala sesuatu yang manifes di alam fisik merupakan
fraktal dari persoalan langit dan bumi, perempuan dan laki-laki, yin dan
yang.
Jika isu-isu yang dikemukakan Zohar dan Marshall diatas sebagai syarat
untuk membangkitkan kecerdasan spiritual (SQ), maka sains yang hanya
menyentuh alam fisik secara terbatas tidak bisa berbuat banyak. Isu-isu
yang diangkat tersebut hanya bisa dijawab sepenuhnya oleh dimensi batin
agama, dan ini memerlukan kesucian batin berdasarkan rahmat Allah SWT,
karena sisi batin agama atau aspek batin dari kitab-kitab agama termasuk
Al-Qur’an tidak akan tersentuh kecuali dengan kebersihan jiwa.
“Itu adalah Al-Qur’an yang Mulia, di dalam Kitab yang terpelihara, tidak
ada yang bisa menyentuhnya kecuali orang-orang yang dibersihkan
(al-muthaharun)” (Al-Waqi’ah [56]: 77-79).
Arti dari dvijottama atau dwi-jati-utama dalam Bhagavad-Gita adalah jiwa
yang telah dilahirkan dua kali, yang pertama dilahirkan secara jasmani
dan yang kedua secara ruhani. Dalam kultur Hindu, hanya orang yang telah
mengalami kelahiran dua kali yang diizinkan membaca kitab suci Weda,
dan tujuan pendidikan dalam agama Hindu adalah upaya ke arah penghidupan
batin. Nabi Isa Al-Masih a.s. dalam Injil Barnabas juga menyinggung
ihwal dua kelahiran tersebut.
Dalam konsepsi Islam, si nafs dilahirkan atau dihadirkan ke alam fisik
secara “virtual reality” melalui jasmaninya, dan kelak si nafs harus
mengejawantahkan atau melahirkan isi ruhaninya. Isi ruhani yang harus
diejawantahkan hingga ke tingkat jasmani ini merupakan dharma atau amal
shalih si nafs (jiwa) yang sesuai dengan Kehendak-Nya. Aspek ruhani ini
merupakan ketetapan jiwa yang diperkuat oleh Ruh Al-Quds sebagai utusan
Allah SWT di dalam diri. Dan Ar-Ruh ini yang akan mengajari insan
tersebut tentang kebenaran dan hakikat-hakikat dari Kitabullah[12].
“Tidak memuat-Ku langit-Ku dan bumi-Ku, yang memuat-Ku hanyalah qalb hamba-hamba-Ku yang mu’min” (Hadits Qudsi).
“Kerajaan Tuhan ada di dalam dirimu” (Al-Masih a.s.).
Daud a.s. dikatakan sebagai seorang yang berhati Tuhan, beberapa kutipan dari Mazmurnya sebagai berikut:
“Aku memuji Tuhan yang telah memberi nasihat kepadaku, bahkan di waktu
malam hati nuraniku mengajari aku. Aku senantiasa memandang Tuhan,
karena Ia berdiri di sebelah kananku” (Mazmur 16: 7-8).
“Karena Engkaulah yang telah membuat pelitaku menjadi menyala” (Mazmur 18: 29).
“Dia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang dan hakmu seperti siang” (Mazmur 37: 6).
Pengetahuan tentang Ar-Ruh ini sedikit dipahami karena berkaitan dengan
alam Amr di Martabat Ilahi, dan rahasia ihwal perkara ini di alam
syahadah (fisik) tidak banyak dibuka.
Dan oknum spiritus ini, ketika struktur manusia tidak dipahami, sering
menjadi sumber kekacauan utama dalam proses identifikasi manusia, baik
itu dalam lingkup filsafat, psikologi, maupun dimensi luar dari agama.
Seperti berenang ke dalam laut yang dalam untuk mencari sebab air laut
pasang dan surut, sementara rembulan, sang fungsi transenden, tak
tampak.
“Tiap-tiap sesuatu bekerja menurut caranya (orbitnya) masing-masing,
maka Rabbmu mengetahui siapa-siapa yang terpimpin jalannya (huwa ahda
sabiila). Dan mereka bertanya kepadamu ihwal Ar-Ruh, katakanlah bahwa
Ar-Ruh itu dari amr Rabbku, dan tidak kamu diberi pengetahuan tentang
ini kecuali sedikit” (Al-Israa [17]: 84-85).
Dari ayat di atas, jelas bahwa aspek Ar-Ruh atau Ruh Al-Quds (Holy
Spirit) dihubungkan dengan orbit diri atau misi hidup tiap-tiap insan
yang unik satu sama lain. Dan rahasia dari Ar-Ruh ini terletak di nafs,
dan seperti Al-Ghazali katakan bahwa jika qalb tak dikenal maka nafs tak
dikenal. Siapa yang seolah-olah melupakan Allah, maka Allah buat dia
lupa akan nafsnya, sehingga tertutuplah jalan untuk mengenal Dia. Barang
siapa tidak mengenal nafsnya maka ia tidak akan mengenal Tuhannya.[]
Referensi
[1] Koswara, E., (1991). Teori-teori Kepribadian. Eresco, Bandung.
[2] Jung, C.G., (1987). Menjadi Diri Sendiri, Pendekatan Psikologi Analitis. Terjemahan A. Cremers, Gramedia, Jakarta.
[3] Adlin, A., dan I. Suryolaksono, (2000). Reduksi Konsepsi Manusia:
Tinjauan Umum Pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Postmodernisme.
Journal of Psyché, 1, 15-50.
[4] Jamaluddin-T., Z.A., (1992). Catatan Kuliah Serambi Suluk. PICTS-YPP, Bandung.
[5] Al-Ghazali, (1985). Kitab Ajaibul Qulub, Ihya Ulumuddin, Terjemah Ismail Ya’qub, Faizan, Jakarta.
[6] Jamaluddin-T., Z.A., (1997). Misykat Cahaya-cahaya. PICTS-YPP, Bandung.
[7] Jamaluddin-T., Z.A., (1994). Mata Air Agama-agama. PICTS-YPP, Bandung.
[8] Hall, C.S., dan G. Lindzey, (1985). Theories of Personality. John Willey & Sons, New York.
[9] Zohar, D., dan I. Marshall, (2000). SQ, Spiritual Intelligence, The Ultimate Intelligence. Bloomsbury, London.
[10] Suhrawardi, S.Y., (1992). Hikayat-hikayat Mistis Suhrawardi Al-Maqtul. Terjemahan Mizan, Bandung.
[11] Tafsir Al-Qur’an Ibnu ‘Arabi.
[12] Sastra Jendra, PICTS-YPP, Bandung.